BAB I
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas
makalah ini.Saya juga bersyukur atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan
kepada saya sehingga saya dapat mengumpulkan bahan – bahan materi makalah ini
dari beberapa sumber.
Saya telah berusaha semampu saya untuk mengumpulkan
berbagai macam bahan tentang permasalahan dalam Hukum Ketenagakerjaan
Saya sadar bahwa makalah yang saya buat ini masih jauh
dari sempurna, karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun
untuk menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik lagi.Oleh karena itu saya
mohon bantuan dari para pembaca.
Demikianlah makalah ini saya buat, apabila ada
kesalahan dalam penulisan, saya mohon maaf yang sebesarnya dan sebelumnya saya
mengucapkan terima kasih.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena pekerja anak merupakan gambaran betapa kompleks dan
rumitnya permasalahan anak.Terlepas dari semua hal tersebut, penghargaan, penghormatan,
serta perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) digaung- gaungkan di penjuru
dunia.Sejak awal pendeklarasian HAM, berbagi bentuk peraturan yang bersifat
universal telah dikeluarkan dalam rangka mendukung upaya perlindungan HAM di
dunia.Upaya perlindungan juga diikuti dengan penegakan hukum demi
terselenggaranya HAM yang konsisten.Jika kita berbicara fenomena pekerja anak,
maka bidang HAM yang langsung bersinggungan adalah hak anak.Baik di dunia
internasional maupun di Indonesia, masalah seputar kehidupan anak menjadi
perhatian utama bagi masyarakat maupun pemerintah.Sangat banyak keadaan-keadaan
ideal yang sebenarnya dapat menuntaskan permasalahan sosial ini.Namun,
faktor-faktor lain seperti kegagalan dalam pranata sosial turut menunjukkan
ketidakmampuan pemerintah.
Dalam konteksnya, sebenarnya anak mempunyai hak yang
bersifat asasi sebagaimana yang dimiliki orang dewasa.Namun, perlindungan
terhadapnya tidak sebombastis ketika masalah HAM yang menyangkut orang dewasa
atau isu gender diumbar ke
khalayak umum.Perlindungan terhadap hak anak tidak terlalu banyak dipikirkan
pada umumnya.Begitu pula dengan langkah konkritnya, bahkan upaya perlindungan
itu sendiri dilanggar oleh negara dan berbagai tempat di negeri ini, orang
dewasa, bahkan orang tuanya sendiri. Banyak anak-anak yang berada di bawah umur
menjadi objek dalam pelanggaran terhadap hak-hak anak akibat pembangunan
ekonomi yang dilakukan .Di negara kita, pekerja anak dapat dilihat dengan mudah
di pertigaan atau di perempatan jalan.Pandangan kita jelas tetuju pada
sekelompok anak yang mengamen, mengemis, atau mengais rezeki di jalanan.Itu
hanya sedikit dari betapa mirisnya kondisi anak-anak Indonesia.Masih banyak
yang tidak terlihat jelas, upaya-upaya pengeksploitasian anak-anak di negeri
ini bahkan dapat disejajarkan dengan tindakan kriminal.Mereka di eksploitasi
sebagai pekerja kasar konstruksi dan tambang tradisional, penyelam mutiara,
penculikan dan perdagangan anak, kekerasan aanak, penyiksaan anak dan bahkan
pelacur komersial.
Anak, seyogyanya adalah gambaran dan cerminan masa depan,
aset keluarga, agama, bangsa, negara dan merupakan generasi penerus di masa
yang akan datang. Mereka berhak mendapatkan kebebasan, menikmati dunianya,
dilindungi hak-hak mereka tanpa adanya pengabaian yang dilakukan oleh pihak
tertentu yang ingin memanfaatkan kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi.
Dari berbagai gejala sosial yang saat ini tengah muncul ke
permukaaan, masalah pekerja anak kian menjadi perbincangan hangat dalam upaya
perealisasian yang sebenarnya.Kesadaran kritis dirasa sangat diperlukan bagi
kalangan civitas mahasiswa dalam membuka kembali cakrawala perhatian dan
pengetahuan sosial yang ada.Sehingga tidak hanya kompeten dalam bidang
keahlian, tetapi juga tanggap dalam membantu menyesuaikan arus perkembangan
masyarakat, karena bagaimanapun, penerus bangsa ada di tangan- tangan mungil
anak-anak Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dalam perumusan masalah ini, permaslahan-permasalahan yang
dibahas adalah sebagai berikut :
1.
Apakah definisi dari pekerja anak jika dihubungkan dengan hak dan kewajiban
anak dalam keluarga?
2.
Bagaimana psikologi perkembanagn pekerja anak?
3.
Indikasi apa yang berkaitan dengan pekerja anak?
4.
Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya pekerja anak?
5.
Bagaimana bentuk-bentuk pekerja anak yang ada di Indonesia?
6.
Bagaimana landasan hukum yang mengatur pelarangan pekerja anak di Indonesia?
7.
Bagaimana solusi efektif permasalahan pekerja anak serta usaha-usaha
perlindungan pekerja anak di Indonesia?
C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, tujuan
dari permasalahan sosial yang diangkat anatara lain:
1.
Mengetahui faktor penyebab terjadinya pekerja anak, khususnya pekerja anak di
Indonesia.
2.
Mengetahui indikasi yang melatarbelakangi pekerja anak di Indonesia.
3.
Mengetahui bentuk-bentuk pekerja anak yang ada di Indonesia.
4.
Mengetahui Kondisi Pekerja anak dan perkembangannya dari kurun waktu tertentu.
5.
Memahami langkah konkrit dalam penanggulangan peningkatan jumlah pekerja anak
di Indonesia.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1) Kerangka
teori secara umum
1) Definisi Umum
1. Definisi anak
a.
Penyajian secara histories
Yakni anggapan bangsa Yunani bahwa “ anak- anak dianggap
sebagai manusia dewasa dengan ukuran kecil”. Disini dianggap seluruh sikap dan
perilaku yang diberikan kepada anak-anak serta harapan dan tuntutan yang
ditujukan kepada anak-anak disamakan dengan sikap dan perilaku serta harapan
dan tuntutan yang ditujukan kepada orang dewasa.
Pandangan lain mengenai definisi anak yakni pada masa awal
tersebarnya agama nasrani di Eropa menunjukkan ciri-ciri antara lain :
1)
Anak-anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang darihukum dan ketertiban.
2)
Anak–anak lebih mudah belajar denga contoh daripada belajar dengan aturan.
3)
Anak-anak tidak sama dengan orang dewasa.
b.
Menurut makna Yuridis
Yakni
berdasarkan Undang-Undang perlindungan anak (UUPA) No. 23 tahun 2002 yang
dimaksud denga anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun ( termasuk
anak dalam kandungan).
Dari
beberapa penyajian definisi anak dapat disimpulkan bahwa anak-anak merupakan
masa sosialisasi yang belangsung secara efektif seseorang yang berumur diantara
5-18 tahun ( dibawah 5 tahun termasuk kategori anak karena masih disebut
balita). Kecenderungan untuk menyimpang yang dipaparkan sebelumnya merupakan
bentuk sosialisasi dari anak-anak dari.Dari segi fisik dan psikis jelas berbeda
dengan orang dewasa, sehingga dalam hal ini tidak bisa disama artikan. Namun,
sisi lain menggungkapkan bahwa pada masa ini anak–anak sudah mengalami korelasi
yang positif serta sifat tunduk pada peraturan yang kemudian menjadi sangat
realistis dengan berbagai kecenderungan-kecenderungan, seperti gemar membentuk
kelompok dengan aturan-aturan sendiri dan lain-lain.
c.
Hak dan kewajban anak
Hak anak sebenarnya tercantum secara tegas dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Instrumen
hukum yang mengatur perlindungan hak anak diatur dalam Konvensi PBB tentang
hak-hak anak (Convention on The Right
of The Child ) Tahun 1989, telah diratifikasi oleh lebih 191 negara.
Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi keputusan Presiden
Nomor 36 tahun 1990.Dengan demikian konvensi PBB tentang hak anak tersebut
telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warag Indonesia. Konvensi
anak-anak merupakan instrument yang berisi perumusan prinsip-prinsip
universal dan ketentuan norma hukum mengenai anak. Konvensi hak anak merupakan
sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukkan
hak-hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya. Secara garis besar
Konvensi hak anak dapat dikategorikan sebagai berikut, pertama penegasan
hak-hak anak, kedua perlindungan oleh Negara, ketiga peran serta berbagai pihak
( pemerintahan, masyarakat dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap
hak-hak anak. Ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalm konvensi hak anak
dapat dikelompokkan menjadi :
a. Hak
terhadap kelangsungan hidup(survival
right)
Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak untuk melestarikan
,mempertahankan hidup, hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi,dan perawatan
sebaik-baiknya. Konsekuensinya menurut konvensi hak anak, Negara harus menjamin
kelangsungan hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal
6). Disamping itu, Negara berkewajiban untuk menjamin hak atas taraf kesehatan
tertinggi yang bisa dijangkau, dan melakukan pelayanan kesehatan dan
pengobatan, khususnya perawatan kesehatan primer (paasal 24). Implementasinya
pada pasal 24, Negara berkewajiban untuk melaksanakn program-program :
(1)
melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak,
(2)
menyediakan pelayaanan kesehatan yang diperlukan,
(3)
memberantas penyakit dan kekurangan gizi,
(4)
menyediakan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan bagi ibu,
(5)
memperoleh informasi dan akses pada pendidikan dan mendapat dukungan pada
pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi,
(6)
mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua,
serta penyuluhan keluarga berencana, dan
(7)
mengambil tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional yang
berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan.
Terkait dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat
berupa :
(1)
hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak lahir (pasal
7)
(2)
hak anak untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek dasar
jati diri anak (nama, kewarganegarran, dan ikatan keluarga) (pasal 8)
(3)
hak anak untuk hidup bersama ( pasal 9) , dan hak untuk memperoleh perlindungan
dari segala bentuk salah perlakuan (abuse)
yang dilakukan orang tua atau orang lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan
(pasal 19),
(4)
hak untuk memperoleh perlindungan khusus bagi anak-anak yang kehilangan
lingkungan keluarga dan menjamin pengusahaan keluarga atau penempatan institusional
yang sesuai dengan mempertimbangkan latar belakang budaya anak (pasal 20),
(5)
adopsi anak hanya dibolehkan dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak ,
dengan segala perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (pasal 21)
(6)
hak-hak anak penyandang cacat untuk memperoleh pengasuhan, perlindungan,
pendidikan, dan pelatihan khusus yang dirancang untuk membantu mereka demi
mencapai tingkat kepercayaan diri yang tinggi.
b.
Hak terhadap perlindungan (protection
right)
Yaitu perlindungan anak dari diskriminasi, tindak kekerasan
dan ketelantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi anak
pengungsi. Hak perlindungan ini antara lain :
(1)
perlindungan anak penyandang cacat untuk memperoleh pendididikan, perawatan,dan
latihan khusus,
(2)
hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalm kehidupan
masyarakat negara. Perlindungan dari eksploitasi meliputi perlindungan dari
gangguan kehidupan pribadi,dari keterlibatan dalam pekerjaan yang dapat mengancam
kesehatan dan lain- lain.
(3)
Perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan dari upaya
penganiayaan seksual, prostitusi , dan pornografi,
(4)
Perlindungan upaya penjualan, penyelundupan, dan penculikan anak
(5)
Perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau diputus telah
melakukan pelanggaran hukum.
c.
Hak untuk tumbuh kembang (development
right)
Yaitu meliputi segala bentuk pendidikan formal maupun
nonformal dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan
fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak. Hak anak atas pendidikan
diatur dalam pasal 28 konvensi hak anak menyebutkan :
(1)
Negara menjamin kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara cuma-cuma
(2)
Mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan dan mudah dijangkau setiap
anak
(3)
Membuat informasi dan bimbingan pendidikan dan keterampilan bagi anak , dan
(4)
Mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya secara teratur di
sekolah dan pengurangan angka putus sekolah.
Hak untuk berpartisipasi yaitu hak untuk menyatakan pendapat
dalm segala hal seperti hak untuk mengetahui informasi serta
mengeksprisikannya, hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung, dan
lain-lain.
3.
Makna pekerja anak dan hubungannnya dengan tugas perkembangan anak
Pekerja
anak menurut Undang- Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 adalah anak-anak
baik laki-laki maupun perempuan yang terlibat dalam kegiatan ekonomi yang
mengganggu dan menghambat proses tumbuh kembang dan membahayakan bagi kesehatan
fisik dan mental anak. Definisi lain menyebutkan bahwa pekerja anak adalah
sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil dengan gaji kecil dan dapat
memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka.
Dalam
hal ini batasan yang ditentukan berhubungan dengan pekerja anak adalah usia
dibawah 18 tahun dengan penentuan beberapa karakteristik umum anak misalnya,
jenis kelamin, umur dan pendidikan. Karakteristik ketenaga kerjaan seperti
jenis pekerjaan, status pekerjaan, jam kerja, dan imbalan kerja. Sedangkan
karakteristik umum sosial yakni tempat tinggal dan kondisi keluarga.
Tindakan
eksploitasi pekerja anak dilakukan karena dianggap produktif.Anak secara
psikologis menerima otoritas orang tua dan guru sebgai suatu hal yang wajar.
Dilihat dari tugas perkembangannnya pun anak-anak dibebani pada tugas-tugas
perkembangan yang didasari tiga hal, yaitu kematangan fisik, rangsangan atau
tuntutan dari masyarakat dan norma pribadi mengenai aspirasinya. Anak yang
secara fisik dianggap sudah matang misalnya anak yang memilki postur tubuh yang
besar dianggap sudah bias menerima tuntutan dari lingkungan baik orang tua
maupun masyarakat.
Anak
bisa dieksploitasi dengan bekerja tanpa menimbulkan masalah, menerima sedikit
gaji tanpa protes, mudah diatur dan penurut.Fenomenanya adalah ketika tugas
perkembangan anak dipaksa oleh realisme ekonomi keluarga.Anak dijadikan faktor
ekonomi yang menunjang keberlangsungan keluarga agar mereka dapat hidup dengan
mencukupi kebututhan dasarnya. Padahal, jika kita telaah tugas perkembangan
anak secara umum menurut Havighurst ( dalam Hurlock,1980) meliputi :
a.
Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan yang
umum.
b.
Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sbagai makhluk yang sedang
tumbuh.
c.
Belajar menyesuaikan diri dengan teman- teman seusianya.
d.
Mulai mengembangkan peranan social pria atau wanita yang tepat.
e.
Mengembangkan keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung.
f.
Mengembangkan pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari- hari.
g.
Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata tingkah laku nilai.
h.
Mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial dan lembaga-lembaga.
i.
Mencapai kebebasan pribadi.
C. Faktor penyebab terjadinya pekerja
anak
Pertambahan
jumlah pekerja anak yang cenderung meningkat disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain :
1.
Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan pangkal utama dalam peningkatan jumlah
pekerja anak.Harga bahan pokok yang semakin mahal, tingkat kebutuhan yang
tinggi serta pengeluaran yang bertambah menuntut anak terjun untuk membantu
mencukupi kebutuhan dasarnya.Sebagian kasus pekerja anak ini terjadi pada
keluarga menengah kebawah.Kemiskinan yang dikaitkan dengan faktor ekonomi ini
dihubungkan dengan masalah pendapatan.Max
Nef et all mendefinisikan kemiskinan merupakn suatu kondisi dimana tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar individu sebagai manusia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk
miskin di tahun 2007 di Indonesia sebesar 37,17 juta orang atau 16,58 persn
dari jumlah penduduk Indonesia. Dalam banyak kasus kemiskinan banyak
menciptakan banyak pekerja anak, dan kemiskinan yang menggiring pekerja anak ke
suatu titik dimana mereka nantinya juga akan melahirkan generasi baru yang sama
atau mungkin lebih miskin dari mereka. Tanpa masa anak-anak , pada masa ketiak
dasar-dasar kemampuan manusia dikembangkan. Kemiskinan diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Menurut International
Labour Organitation (ILO) pada tahun 2007 pekerja anak di Indonesia
masih cukup besar yakni 2,6 juta jiwa. Anak-anak bekerja diberbagi sector dan
bentuk pekerajaan.Namun, sebagian besar dari mereka bekerja di sektor pertanian
keluarga dan di perusahaan manukfatur serta perdagangan skala kecil.Krisis
ekonomi yang terjadi sejak 1997 telah mengubah struktur pekerja anak secara
signifikan dalam pasar tenaga kerja.Terjadi informalisasi pekerja anak, jumlah
anak-anak yang bekerja diberbagai sektor meningkat tajam, semua itu
mencerminkan adanya gelombang pekerja anak yang memasuki sektor informal.
2. Faktor
migrasi
Banyaknya migrasi terutama urbanisasi yakni perpindahan
penduduk dari desa ke kota meningkatkan jumlah pekerja anak. Hal ini disebabkan
beberapa factor antara lain :
a. Penduduk desa kebanyakn bahwa kota memiliki
banyak pekerjaaan dan lebih mudah mendapatkan penghasilan. Hal ini karena
sirkulasi uang di kota jauh lebih cepat dan lebih banyak, sehingga relatif
lebih mudah mendapatkan uang daripada di desa.
b. Usaha untuk mpekerjaan yang lebih sesuai
dengan pendididkan, sebenarnya dilatarbelakangi oleh motif untuk mengangkat
posisi sosial.
c. Bagi beberapa kelompok, kota memberikan kesempatan
untuk menghindarkan diri dari kontrol sosial yang terlalu ketat .
d. Di kota lebih banyak kesempatan untuk
mengembangkan usaha kerajinan rumah menjadi kerajinan industri. Hal ini karena
kota terdapat banyak sarana yang mendukung usaha tersebut.
e. Kelebihan modal di kota lebih banyak daripada
di desa.
f. Kota merupakan tempat yang
lebih menguntungkan untuk mengembangkan jiwa dengan sebaik-baiknya dan
seluas-luasnya.
Beberapa penyebab meningkatnya jumlah pekerja
anank terhadap factor migrasi, khususnya urbanisasi, diketahui bahwa
ketidakpahaman mengenai urbanisasi itu sendiri dapat digunakan beberapa okn\m
untuk menjebak ( khususnya pekerja anak) dalam pekerjaan yang di
sewenang-wenagkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.
3. Faktor Budaya
Beberapa faktor budaya yang memberi kontribusi terhadap
peningkatan jumlah pekerja anak antara lain :
a. Peran perempuan dalam keluarga
Meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa
tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa
perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan
keluarga.Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi
untuk bekerja agar dapat membantu keluarga mereka.Ada beberapa kemungkinan
disini.Pertama, pada masyarakat desa yang masih tertekan oleh adat-istiadat
menganggap bahwa perempuan dapat dinikahkan secepatnya ketika sudah dianggap
cukup waktunya, walaupun belum matang secara psikis maupun fisik.Hal ini
mengakibatkan banyak anak-anak perempuan yang masih di bawah umur menanggung
beban layaknya perempuan dewasa sebagai istri.Seperi sudah dijelaskan
sebelumnya, perempuan juga sering diakui sebagi pencari nafkah pelengkap bagi
keluarga.Ada dua variable sekaligus disini, anak perempuan yang masih di bawah umur
di eksploitasi untuk berlaku layaknya perempuan dewasa sebagi seorang istri dan
membantu tambahan nafkah bagi keluarga.
b. Perkawinan dini
Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius
bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan
ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga
perceraian dini.Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap
sebagai orang dewasa dan rentan terhadap trafiking disebabkan oleh kerapuhan
ekonomi mereka.
c. Sejarah pekerjaan karena jeratan hutang
Praktek menyewakan tenaga anggota keluarga untuk
melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat
diterima oleh masyarakat.Orang yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang
khususnya, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi
yang mirip dengan perbudakan.
d. Peran
anak dalam keluarga
Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga
membuat anak-anak rentan terhadap trafiking.Buruh/pekerja anak, anak bermigrasi
untuk bekerja, dan buruh anak karena jeratan hutang dianggap sebagai
strategi-strategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang
kehidupan keuangan keluarga.
4.
Faktor kurangnya pencatatan kelahiran
Orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah
menjadi mangsa trafiking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak
terdokumentasi. Anak-anak yang dipekerjakan, biasanya lebih mudah diwalikan ke
orang dewasa manapun yang memintanya.Dalam hal ini, ketidakmampuan Sistem
Pendidikan Nasional yang ada maupun dalam masyarakat untuk mempertahankan agar
anak tidak putus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi sangat
besar.Sehingga anak-anak dilibatkan dalam hal kesempatan kerja dengan bermigrasi
terlebih dahulu atau langsung terjun mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan
keahlian.
5. Faktor Kontrol sosial
Lemahnya kontrol sosial Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang
korup dapat disuap untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat
kriminal. Para pejabat pemerintah juga disuap agar memberikan informasi yang
tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor
khususnya anak-anak dapt denagn mudah diwalikan atau bahkan diubah
kewarganegaraannya.. Kurangnya budget/anggaran dana negara untuk menanggulangi
usaha-usaha trafiking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara
efektif menjerakan dan menuntut pelaku- pelakunya.
D. Bentuk-bentuk
pekerja anak
Dunia
internasional memberikan perhatian khusus terhadap bentuk-bentuk terburuk
dan sifat pekerja anak. sebagai negara yang pertama kali menanda tangani
Konvensi ILO 182 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak (BPTA),
pada tahun 2002 Indonesia telah menetapkan satu langkah yang signifikan kearah
penghapusan pekerja anak, terutama jenis pekerjaan yang masuk dalam kategori
pekerjaan terburuk untuk anak. keputusan presiden No. 59 tahun 2002 tentang
rencana aksi nasional penghapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Untuk Anak (BPTA) ada
13 bentuk pekerjaan.
Adapun
13 Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk anak adalah sebagai berikut:
1.
Mempekerjakan anak-anak sebagai pelacur;
2.
Mempekerjakan anak-anak di pertambangan;
3.
Mempekerjakan anak-anak sebagai penyelam mutiara;
4.
Mempekerjakan anak-anak di bidang kontruksi;
5.
Menugaskan anak-anak di anjungan penangkapan ikan lepas pantai (yang di
Indonesia disebut jermal);
6.
Mempekerjakan anak-anak sebagai pemulung;
7.
Melibatkan anak-anak dalam pembuatan dan kegiatan yang menggunakan
bahan peledak;
8.
Mempekerjakan anak-anak di jalanan;
9.
Mempekerjakan anak-anak sebagai tulang punggung keluarga;
10.
Mempekerjakan anak-anak di industri rumah tangga; (cottage industries);
11.
Mempekerjakan anak-anak di perkebunan;
12.
Mempekerjakan anak-anak dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan usaha penebangan kayu untuk industri atau mengolah kayu
untuk bahan bangunan dan pengangkutan kayu gelondongan dan kayu olahan;
13.
Mempekerjakan anak-anak dalam berbagai industri dan kegiatan yang
menggunakan bahan kimia berbahaya.
Dan
program aksi telah menetapkan 5 dari 13 jenis pekerjaan terburuk sebagai
prioritas dalam lima tahun pertama pada pelaksanaan program yang direncanakan
berlangsung selama 20 tahun kedepan. Kelima bentuk pekerjaan terburuk itu
adalah :
1.
Anak-anak yang terlibat dalam penjualan, produksi dan perdagangan
narkoba.
2.
Anak-anak yang diperdagangkan untuk dijadikan pelacur (AYLA).
3.
Anak-anak yang bekerja di penangkapan ikan lepas pantai (Jermal).
4.
Anak-anak yang bekerja di sektor pertambangan.
5.
Anak-anak yang bekerja di sektor pembuatan alas kaki.
E. Kondisi pekerja
anak di Indonesia
Sebelum melihat realitas yang terjadi
sekarang dan mungkin pada masa yang akan datang, alangkah bijaknya kalau
mengingat dan menelusuri konteks historis pekerja anak di Indonesia. Sehingga
dapat diperoleh suatu gambaran yang mendekati utuh tentang dinamika pekerja
anak dalam konteks sosial dan budaya Indonesia. Secara historis, kondisi
pekerja anak di Indonesia mengalami berbagai kemajuan dan kemunduran baik dari
aspek kuantitas maupun kualitasnya. Demikian halnya perhatian terhadap masalah
inipun muncul dan tenggelam sangat tergantung pada persepsi dan sikap
negara/pemerintah dan khususnya masyarakat terhadap masalah pekerja anak.
Perkembangan dan perhatian dari masyarakat dunia pun tidak dapat dilepaskan
dari faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika perlindungan terhadap Pekerja
Anak di Indonesia.
Dengan menggunakan
pencanangan Deklarasi HAM dunia pada tahun 1948 (Universal Declaration of Human Rights, 1948) sebagai acauan
waktu (time frame) dalam
melakukan analisis, dinamika perlindungan anak di Indonesia dapat dikelompokkan
menjadi 2 fase historis, yaitu masa sebelum deklarasi HAM dan masa setelah
deklarasi HAM. Acuan waktu ini cukup penting bagi masyarakat dunia sebagai
salah satu fase meningkatnya perhatian dan penghargaan terhadap hak-hak dasar
manusia (nilai-nilai kemanusiaan). Pada masa ini pula upaya penghapusan
imperialisme dan kolonialisme dunia mendapatkan perhatian dari masyarakat
internasional. Batasan waktu inipun memiliki nilai penting bagi bangsa
Indonesia sebagai salah satu gerbang menuju pada tertib hukum nasional yang
dilandasi oleh nilai-nilai kemerdekaan dan keadilan sosial.
1. Periode
Sebelum Deklarasi HAM PBB
Secara historis pada masa pemerintah kolonial Belanda, mayoritas
anak-anak bangsa Indonesia asli (Bumiputra) tidak dapat mengenyam pendidikan
formal, sehingga sebagian besar dari mereka harus bekerja pada
pertanian-pertanian skala besar maupun industri-industri yang dikelola oleh
Hindia Belanda (Geertz, 1971). Hanya sebagian kecil anak-anak orang Indonesia (priyayi dan bangsawan), maupun orang
Golongan Timur Asing atau yang dipersamakan dengannya yang diperbolehkan
mengikuti pendidikan-pendidikan formal. Perlakuan yang berbeda-beda terhadap
berbagai golongan masyarakat yang ada di Indonesia, yang dituangkan dalam Indische Staatsregeling (131 IS)
memberikan implikasi tidak hanya pada dualisme aturan/hukum yang dipergunakan,
tetapi juga berdampak pada kehidupan sosial yang lebih luas, termasuk hak
sosial dan politik. Kondisi masyarakat yang berlapis dan diskriminatif dengan
lapisan atas yang jumlahnya sedikit (priyayi)
dan sebagian terbesar pada lapisan bawah (wong cilik), mengakibatkan sebagian besar anak-anak Indonesia
pada masa itu telah akrab dengan "bekerja" baik di sektor domestik
maupun sektor publik yang bermotifkan pada membantu kehidupan keluarga (Mulder,
1996).Kemiskinan yang lekat dengan golongan lapisan bawah pada sebagian
terbesar masyarakat Indonesia dijadikan sebuah alasan pembenar terhadap
praktek-praktek mempekerjakan anak dalam usaha untuk membantu memenuhi
kebutuhan keluarga, baik oleh orang tuanya sendiri maupun oleh pihak pengusaha.
Mereka pada umumnya dipekerjakan di pabrik-pabrik Belanda seperti di pabrik
gula, pabrik rokok (klobot), batik, teh, kopi, kulit, ubin/lantai, dan
pabrik-pabrik lainnya dengan jam kerja antara 8 -10 jam sehari (Achdian dan
Aminudin, 1995). Meskipun terdapat beberapa aturan hukum yang melarang
mempekerjakan anak dibawah usia, seperti:
- Ordonantie 17 Desember 1925 (Staatsblad (Stb. No.647) yang diperbaharuhi dengan Ordonantie No. 9 tahun 1949 mengenai perubahan peraturan tentang pembatasan kerja anak-anak, dan
- Ordonantie 27 Februari 1926, (Stb. No. 87) mengenai peraturan tentang pekerjaan anak dan orang muda di kapal.
Akan tetapi aturan-aturan
tersebut masih mengandung sikap ambivalensi. Sikap ambivalensi peraturan hukum
tersebut terlihat dari adanya klausula pengecualian (discretion clausule) yang membuat kepastian hukum terhadap
pelarangan mempekerjakan anak di bawah usia kerja menjadi kabur. Sebagai
contoh, Pasal 2 Ordonantie 27 Februari 1926 menyebutkan:Anak dibawah umur 12
tahun tidak boleh menjalankan pekerjaan di kapal, kecuali bila ia bekerja di
bawah pengawasan ahlinya atau seorang keluarga sampai derajat ketiga.
Demikian juga halnya pada Ordonantie
17 Desember 1925 yang memberikan batasan terhadap bidang-bidang pekerjaan yang
tidak diperbolehkan untuk anak-anak .
Keadaan inilah yang antara
lain memberikan celah hukum terhadap praktek pekerja anak di masa kolonial
Belanda. Begitu pula dengan sikap sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap
praktek ini melalui proses enkulturasi "bekerja
membantu orang tua" dan terbatasnya fasilitas pendidikan formal
bagi mereka, yang telah menciptakan iklim yang subur terhadap praktek pekerja
anak. Kondisi ini berlangsung hingga akhir abad ke 19, khususnya pada saat
liberalisasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan
munculnya perkebunan-perkebunan raksasa swasta yang justru lebih menyengsarakan
kehidupan para petani di Jawa dan meningkatnya eksploitasi terhadap pekerja
anak (Geertz, dalam Koentjaraningrat, 1984).
Pada awal abad ke-20,
sebagian kecil petani (lapisan bawah) dan orang-orang pribumi menyadari
pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Mereka mulai mengirimkan anak-anak
mereka pada sekolah-sekolah desa (Volkscholen),
meskipun pendidikan formal untuk mereka masih sangat terbatas (Koentjaraningrat,
1984). Sikap ini telah merintis perbaikan terhadap kehidupan anak Indonesia.
Setitik harapan buat masa depan anak Indonesia secara berangsur-angsur telah
melahirkan beberapa generasi muda terpelajar pada masa awal abad 20-an, yang
kemudian telah memberikan suatu momentum perjuangan Bangsa Indonesia untuk
membebaskan diri dari kolonialisme dunia. Akan tetapi, sebagian terbesar
anak-anak Indonesia khususnya yang berada di desa-desa masih terbelenggu oleh
nilai-nilai dominannya (dominat values)
yang secara kultural (culturally
rooted) bekerja untuk membantu kehidupan keluarga, baik di sektor publik
(pada umumnya laki-laki) maupun yang di sektor domestik (pada umumnya
perempuan). Keadaan anak yang bekerja di desa-desa membantu kehidupan orang tua
merupakan suatu pemandangan yang umum, bahkan para remaja pun telah keluar dari
desanya untuk sekolah dan bekerja sebagai usaha untuk membiayai sekolah.
Tampaknya kemiskinan dan
keterbatasan pendidikan masyarakat desa merupakan medium yang permisif terhadap
praktek pekerja anak. Keadaan ini terutama diterima oleh sebagian besar anak
perempuan, khusunya di Jawa. Stereotipe masyarakatnya masyarakat Jawa cenderung
menso-sialisasikan anak perempuan untuk bekerja membantu pekerjaan di rumah
(pada sektor domestik) dan tidak perlu untuk mengenyam pendidikan yang tinggi.
Hal ini membuat terganggunya pertumbuhan dan perkembangan anak.
2.
Periode Setelah Dekalarasi HAM PBB
Dicanangkannya deklarasi
HAM PBB tahun 1948 mendorongan peningkatan perhatian serius negara-negara di
dunia, khususnya terhadap negara sedang berkembang dan terbelakang, untuk lebih
meningkatkan pengakuan terhadap hak-hak dasar manusia. Hal inipun dibarengi
dengan proses modernisasi dan industrialisasi yang terjadi, yang telah
mendorong terjadinya pembangunan dalam berbagai bidang, serta dampaknya
terhadap orang-orang yang kurang beruntung dan lemah seperti anak-anak yang
terpaksa harus bekerja. Perhatian masyarakat dunia terhadap perlindungan anak
telah mendorong sebuah infrastruktur kerja sama lintas negara seiring dengan
perkembangan dunia menuju pada one
world perspectives (Sinaga, 1997).
Pesatnya perkembangan dan
pertumbuhan kota-kota di Indonesia sebagai akibat pembangunan memberikan
dorongan terjadinya mobilitas penduduk desa menuju kota. Industrialisasi yang
pada umumnya terjadi di kota-kota besar telah menciptakan berbagai lapangan
pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga tidak terampil (unskilled labour) berpendidikan
rendah. Keadaan ini mendorong terjadinya peningkatan migrasi penduduk desa
menuju kota secara drastis, yaitu dari 17% pada tahun 1971 menjadi 31% pada
tahun 1994 (BPS, 1996). Migrasi ini juga didorong oleh terjadinya fragmentasi
tanah yang mengakibatkan terbatasnya sumber-sumber produksi penduduk desa,
sehingga mereka berusaha untuk mencari penghasilan di kota.
Terbatasnya daya dukung
untuk menciptakan infrastruktur kota terhadap pertumbuhan penduduk yang sangat
cepat, mengakibatkan timbulnya daerah-daerah marginal yang rawan terhadap
proses tumbuh kembang anak secara sehat. Pada umumnya mereka hidup pada
bedeng-bedeng (tempat tinggal seadanya) di daerah-daerah yang terletak pada
bantalan-bantalan sungai maupun di pinggir-pinggir kota, dan berkelompok secara
genealogis. Terbatasnya
penghasilan orang tua mereka dan perlakuan-perlakuan salah terhadap mereka (child abuse), pada umumnya merupakan
faktor pendorong terhadap anak untuk bekerja. Hal ini juga didukung oleh
berkembangnya mekanisme pasar tenaga kerja anak (Amrinal, 1998).
Kondisi yang tidak jauh
berbeda juga terjadi di desa-desa, fragmentasi tanah setelah pelaksanaan
Landreform 1960, dan pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan terjadinya
proses marginalisasi kehidupan masyarakat desa. Sumber-sumber produksi yang
terbatas di desa dengan jumlah penduduk yang bertambah mengakibatkan terjadinya
pemerataan kemiskinan (shared poverty)
secara struktural, yang secara langsung berakibat pada perkembangan anak.
Permasalahan perlindungan terhadap pekerja anak pada satu sisi lekat dengan
kondisi sosial ekonomi dari suatu masyarakatnya. Kemiskinan merupakan faktor
kunci terhadap tumbuh kembang anak secara baik. Disisi lainnya penegakan hukum
yang masih lemah, tidak hanya pada sisi perangkat hukumnya, akan tetapi juga
pada terbatasnya pengetahuan aparat penegak hukum, menjadikan suatu simbiosis
yang sangat mendorong terjadinya eksploitasi pekerja anak.
3.
Masa Resesi Ekonomi 1997
Masa ini secara khusus
diperhitungkan sebagai salah satu fase yang akan menentukan perkembangan
pekerja anak di Indonesia, mengingat dampaknya telah berpengaruh terhadap
menurunnya tingkat pendapatan sebagian besar masyarakat Indonesia dan
meningkatnya jumlah pengangguran terbuka. Menurunnya tingkat pendapatan penduduk
yang berakhir dengan menurunnya konsumsi dan kemampuannya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya, secara langsung berpengaruh terhadap tumbuh
kembang anak secara sehat. Resesi ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun
1997 seakan membuyarkan sebuah harapan akan menurunnya dan bahkan hapusnya
eksploitasi pekerja anak di Indonesia. Menurunnya tingkat pendapatan masyarakat
dan semakin meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja secara mendadak, bukan
tidak mungkin akan mengembalikan situasi kepada lingkungan masyarakat yang
sangat permisif terhadap eksploitasi pekerja anak seperti yang terjadi pada
periode awal setelah dicanangkannya deklarasi HAM.
Keadaan ini tentunya patut
mendapatkan perhatian, baik dari pemerintah dan khususnya dari masyarakat melalui
LSM-nya. Pengembangan dan penerapan berbagai program yang tepat dan terarah
diharapkan dapat meng-antisipasi keadaan agar tidak menuju pada kondisi yang
lebih buruk.
F.
Landasan Hukum Pelarangan Pekerja anak
Dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah
Iindonesia telah berhasil meningkatkan akses masyarakat terhadap
pendidikan. Namun, kemiskinan dan faktor lainnya telah menyebabkan anak- anak
putus sekolah dan mendorong mereka masuk dalam angkatan kerja sbelum
menyelaeseikan pendidikan dasar. Banyak anak-anak yang rentan terlibat dalam
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Untuk mengatasi hal ini , berbagai
peraturan perundangan baru di Indonesia telah mengakui bahwa anak usia dibawah
18 tahun membutuhkan perlindungan khusus terhadap bahaya pekerjaan dan
eksploitasi. Peraturan perundangan tersebut antara lain :
1.
Kepres No. 59 Tahun 2002 tentang rencana aksi nasional (RAN) penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA).
2. Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA )
ynag bertujuan untuk melindungi anak dari eksploitasi dan seksual.
3. Undang- Undang
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang memberikan kerangkan hukum baru mengenai
pekerjaaan bagi anak-anak berusia dibawah 18 tahun.
4. Kebijakan pemerintah
yang ditujukan untuk menjamin bahwa anak-anak harus menyelesaikan pendidikan
dasar 15 tahun.
5. Undang-Undang No. 21
tahn 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) yang
memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang diperdagangkan dan dieksploitasi.
6. UU No. 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak yang memberikan kewajiban, tanggung jawab dan peran
kepada negara dalam melindungi anak-anak.
7. UU No. 20 tahun 1990
tentang pengesahan konvensi mengenai usia minimal anak diperbolekan bekerjBAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Analisis permasalahan Pekerja Anak
1. Indikasi dan dampak pekerja anak
Permasalahan
pekerja anak merupakan salah satu dimensi penelantaran hak anak untuk tumbuh
dan berkembang secara wajar. Interpretasinya, bukan berarti anak tidak boleh
bekerja sama sekali. Dalam rangka mendidik dan melatih anaka untuk mandiri,
harus dilakukan pembiasaan dengan melakukan pekerjaan untuk membantu orang tua
disamping belajar. Namun, ketika terjadi eksploitasi secara ekonomi pada anak ,
hal ini dianggap bertentangan dengan hukum dan hak anak.
Indikasi
terjadinya ekploitasi terhadap anak bisa dilihat dari anatara lain :
a.
Anak bekerja dibawah ancaman atau bujuk rayu pihak tertentu
Hal ini dapat diidentifikasikan dari faktor budaya yang menjadi
salah satu penyebab terjadinya pengeksploitasiaan pekerja anak.Salah satunya
peran anak dalam keluarga.Tidak ada larangan yang jelas dalam masyarakat untuk
melarang mempekerjakan anak. Anak bekerja atas dasar bujuk rayu pihak tertentu,
seperti halnya orang tua.anak bias saja mendapat ancaman apabila tidak bersedia
bekerja dengan dalih membantu perekonomian keluarag. Indikasi lain yaitu anak
yang bekerja diiming-imingi pekerjaan yang menjanjikan kehidupan mereka,
sehingga pada situasi seperti ini anak sama sekali tidak punya pilihan.
b.
Jam kerja yang panjang seperti orang dewasa
Batas
minimum anak bekerja adalah dengan syarat empat jam kerja. Indikasi ini mudah
sekali terlihat karena umumnya para pekerja anak bekerja pada sector informal
,seperti pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak yang sudah
dijelaskan.kesehatan dan mental psikologi merupakan salah satu efek yang
terlihat dari indikasi ini.
c.
Anak tidak dapat menerima
hak tumbuh dan berkembangnya secara wajar
Indikasi ini jelas, saat ugas perkembangan anak menekankan
proses pembelajaran dan sosialisasi, pekerja aank menitikberatkan anak untuk
bekerja sehingga terbengkalainya hak- hak anak. Hal ini terlihat, ketika pada
saat jam sekolah banyak anak-anak yang masih bekerja seperti mengamen,
pemulung, pengemis dan lain-lain. Contoh lain yang lebih spesifik yaitu pekerja
anak di sektor informal seperti pada penangkapan ikan lepas pantai. Tidak
jarang anak-anak dipekerjakan untuk mengangkat jala yang berat dan sangat
membahayakan jiwa mereka terutama untuk tumbuh dan kembang anak tersebut.
d.
Upah yang rendah dan tidak sesuai dengan asas kemanusiaan.
Pada tugas perkembangan secara psikologis, anak mendapat
otoritas dari orang tua maupun orang dewasa sekitarnya.Dengan mempekerjakan
anak, dianggap bisa menguntungkan.Di satu sisi tenaga mereka dapat digunakan
dengan membayar upah yang minimum. Di sisi lain, anak bisa diatur dengan mudah.
Mengenai asas kemanusiaan, indikasi pekerjaan pekerja anak
memang secara keseluruhan merupakan bentuk pekerjaan terburuk anak dan tidak
sesuai dengan asas kemanusiaan maupun hak anak.
- Jenis pekerja anak masuk kategori yang membahayakan seperti ditetapkan dalam UU No.1/2000 tentang pengesahan konvensi ILO No. 182 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak.
- Usia anak masih terlalu muda sebagaimana ketentuan UU No. 20/ 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO mengenai usia minimum diperbolehkan bekerja.
2. Data statistik pekerja
anak di Indonesia pada beberapa waktu tertentu serta analisisnya
a. Perbandingan jumlah anak pada tahun 1961 dan 1992 di
Indonesia
Berikut disajikan tabel yang sesuai mengenai kondisi jumlah
anak di Indonesia dengan umur 10- 14 tahun.
Tabel: Perbandingan
Jumlah Anak pada Tahun 1961 dan 1992
Sumber: diolah dari Biro Pusat Statistik
(1963 dan 1993)
Data statistik menunjukkan
bahwa pada tahun 1992, terdapat kurang lebih 2,5 juta pekerja yang berusia
antara 10 - 14 tahun. Angka ini belum termasuk mereka yang bekerja sebagai pembantu
rumah tangga, dan yang mencari kerja yang berjumlah kurang lebih 1,2 juta anak.
Secara total, anak yang bekerja dan telah meninggalkan sekolah berjumlah kurang
lebih 3,7 juta (11,5%).
Dari tabel di atas terlihat
bahwa meskipun jumlah pekerja anak meningkat, secara persentase mengalami
penurunan. Pertumbuhan anak sekolah meningkat baik secara jumlah maupun
persentasenya. Pertumbuhan ini erat kaitannya dengan program wajib belajar dari
pemerintah. Meskipun persentase perkembangan pekerja anak menurun,
industrialisasi yang terjadi telah meningkatkan tingkat ancaman terhadap
pekerja anak di Indonesia. Hal tersebut juga mendorong meningkatnya
perkembangan pasar tenaga kerja anak yang menjadikan anak sebagai suatu
komoditas yang dianggap lebih menguntungkan bagi sebagian pengusaha, karena
rendahnya tingkat pendidikan dan tuntutan mereka.
Pekerja anak pada umumnya
bekerja di berbagai bidang pekerjaan, baik sektor formal maupun informal. Pada
umumnya mereka yang bekerja di pabrik konveksi, rokok, dan sebagai pembantu
rumah tangga adalah anak perempuan; sedangkan mereka yang bekerja di
sektor-sektor informal adalah anak laki-laki yang umumnya telah putus sekolah
(Rilantaro, 1984, dalam White dan Tjandraningsih, 1998). Sektor-sektor bidang
pekerja anak pada umumnya merupakan bidang-bidang marginal dan tidak memerlukan
keterampilan khusus, seperti menjadi pembantu rumah tangga, buruh pabrik, buruh
pada jermal-jermal, penjual koran, kuli angkut, penjual kaki lima, prostitusi,
dan pekerjaan seadanya (serabutan) lainnya. Hampir keseluruhan pekerja anak
bermotifkan ekonomi, yang didasari oleh keterbatasan/ ketiadaan biaya orang tua
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (Irwanto, 1996, dalam White dan
Tjandraningsih, 1998).
Diratifikasinya hak-hak anak melalui
KEPPRES No. 36 tahun 1990 diharapkan memberikan dampak positif terhadap usaha
perlindungan anak, khususnya terhadap pekerja anak dalam konteks kerja sama
Internasional. Mengingat permasalahan perlindungan anak berkaitan erat dengan
berbagai aspek yang bersumber pada usaha-usaha untuk mengurangi tingkat
kemiskinan (poverty
elevation) dan meningkatkan program wajib belajar (compulsory education),
dukungan teknis maupun financial masyarakat Internasional sangat dibutuhkan
untuk menghilangkan/mengurangi pekerja anak di Indonesia (elimination of child labour).
B. Solusi
Permasalahan Pekerja Anak di Indonesia
1.Alternatif solusi
: Program Percontohan Zona Bebas Pekerja Anak
Program percontohan Zona Bebas Pekerja Anak
(ZBPA) merupakan program yang mencanangkan suatu daerah sebagai zona bebas
pekerja anak. Program ini dipelopori oleh Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara sebagai komitmen untuk memprioritaskan pendidikan untuk
meningkatkan sumber daya manusia Kutai Kartanegara. Pencanangan daerah
ZBPA ini merupakan suatu kebijakan politik yang revolusioner dalm
menghapus pekerja anak yang pertama di Indonesia bahkan di dunia.
ZBPA
ini dideklarasikan oleh Bupati Kutai Kartanegara Prof. Dr. H. Syaukani HR dalam
rangka konsekuensi logis denga diratifikasinya ILO No. 138 dengan UU No. 20
tahun 1999. Tentang Batas Usia Minimum Anak di perbolehkan kerja, serta
konvensi ILO 182 dengan UU. No. 1/2000 tentang Penghapusan Pekerjaan Terburuk
untuk Anak.
Kutai Kartanegara memelopori sebagai Kabupaten percontohan
ZBPA, karena wilayah ini dinilai memiliki komitmen politik yang kuat tentang
pendidikan, pengembangan ekonomi dan pelayanan sosial melalui Program Gerbang
Dayaku yang memiliki tiga prioritas, yakni Pengembangan SDM, Ekonomi Kerakyatan
dan Pelayanan Sosial.
Kesungguhan Pemkab Kukar memberlakukan ZBPA dikukuhkan dalam
Perda No. 9 Tahun 2004, yang akan diberlakukan efektif tahun 2008. Dalam Perda
itu ditegaskan bahwa setiap anak berusia 15 tahun ke bawah harus
bersekolah.Tidak boleh diberhentikan sekolah oleh orang tua karena dipekerjakan
untuk kepentingan ekonomi keluarga. Barangsiapa (orang tua/perusahaan)
memberhentikan sekolah anak 15 tahun ke bawah dan dipekerjakan adalah melanggar
Perda dan dikenakan sanksi enam bulan kurungan badan atau denda Rp 5juta.Pemkab
Kukar mendeklarasikan target ZBPA: Tahun 2008 tidak ada lagi pekerja anak di
bawah usia 15 tahun dan seluruhnya memperoleh pendidikan dasar 9 tahun; Tahun
2010 tidak ada lagi pekerja anak di bawah usia 18 tahun dan pada tahun 2012
seluruh anak akan memperoleh pendidikan dasar 12 tahun.
a. Sasaran Program percontohan ZBPA
Sasaran
ZBPA adalah anak-anak berisiko tinggi yaitu: Anak-anak dari keluarga miskin;
Anak-anak dari keluarga dengan jumlah anggota banyak; Anak-anak dengan orangtua
tunggal dan yatim-piatu; Anak-anak yang orangtua atau saudara kandungnya pernah
menjadi pekerja anak; dan, Anak-anak penduduk asli atau suku tertentu yang
memiliki hambatan sosial dan budaya.
b.
Target Program percontohan ZBPA
Target operasional ZBPA adalah tidak ada lagi pekerja anak
di bawah usia 15 tahun (2007); Tidak ada lagi segala bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak (2009); Anak-anak di bawah usia 18 tahun memperoleh wajib belajar
pendidikan dasar 12 tahun (2010).
c.Kebijakan Program percontohan ZBPA
Berdasarkan asumsi strategis yang tertuang dalam Renstra
ZBPA , maka kebijakan yang ditempuh untuk mencegah dan menghapus pekerja anak
di kutai Kartanegara, sebagai berikut : (1) Meningkatkan kualitas dan
kesejahteraan anak melalui upaya peningkatan kesadaran pengetahuan dan
kemampuan masyarakat dalam mengembangkan potensi anak. (2) Meningkatkan akses dan
memperkuat kuantitas dan kualitas pendidikan formal dan nonformal. (3).
Melakukan kerja sama dan meningkatkan kesadaran akan masalah pekerja anak dan
hak anak untuk mendapatkan pendidikan. (4) Mengintegrasikan masalah pekerja
anak ke dalam program dan anggaran untuk kebijakan perkembangan ekonomi.
Kebijakan-kebijakan
ini didukung pula pada program –program Gerbang Dayaku yang relevan dengan
masalah pekerja anak diantaranya :
(1)
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pengembangan SDM dilakukan antara lain dengan Program
Pembebasan SPP dan BP3 yang dijalankan sejak tahun 2001. Untuk tingkat SD
mendapatkan Rp. 5.000,- per orang, untuk tingkat SLTP sebesar Rp. 17.500 per
orang dan SLTA sebesar Rp. 22.500 per orang. Sedangkan untuk perguruan tinggi
mendapatkan subsidi Rp. 100.000 per orang.
Sementara untuk meningkatkan kualifikasi guru SD, SLTP dan
SLTA Pemkab Kukar juga mengeluarkan subsidi dalam pemberian tugas belajar mulai
program D2 sampai dengan S1. Program ini setahun merekrut 100 orang guru dari
18 Kecamatan se Kabupaten Kutai Kartanegara.Sedangkan untuk mendorong kinerja
guru, Pemkab Kukar juga memberikan insentif kepada 7.000 guru negeri dan swasta
di seluruh Kutai Kartanegara sebesar Rp. 500.000,-per bulan dan memberikan
fasilitas berupa sepeda motor untuk kepala sekolah.
Program kejar paket A dan B untuk anak putus sekolah juga
dijalankan dengan Dinas Pendidikan Luar Sekolah. Tujuannya untuk memberikan
keterampilan untuk masa depannya, misalnya keterampilan pengolahan sabut dan
tempurung kelapa.
Dilakukan juga program bimbingan dan penyantunan anak
terlantar. Keterampilan diberikan tergantung minat peserta seperti bengkel,
sablon, menjahit, tata rias dan elektro.Untuk program ini anak dipantikan
selama enam bulan.Kemudian memberikan keterampilan bagi anak-anak dari keluarga
pra-sejahtera berupa pemberian modal usaha (lahan dan barang).
Selain itu, melalui program wajib belajar Dinas Pendidikan Nasional melakukan penyuluhan keluarga. Bertujuan untuk mengurangi absensi anak ketika harus bekerja di musim panen dan mengurangai tingkat drop out.Sementara jaminan sosial (SWTM) bagi anak dan penduduk miskin yang lanjut usia diberikan sebesar Rp. 100.000 per bulan. Juga ada peyediaan alat transport berupa bus sekolah.
Selain itu, melalui program wajib belajar Dinas Pendidikan Nasional melakukan penyuluhan keluarga. Bertujuan untuk mengurangi absensi anak ketika harus bekerja di musim panen dan mengurangai tingkat drop out.Sementara jaminan sosial (SWTM) bagi anak dan penduduk miskin yang lanjut usia diberikan sebesar Rp. 100.000 per bulan. Juga ada peyediaan alat transport berupa bus sekolah.
(2)
Pengembangan Ekonomi Kerakyatan
Pengembangan Ekonomi Kerkayatan dicanangkan dengan pemberian
kredit usaha kecil perdesaan bagi individu dan masyarakat sebesar Rp. 500 juta
per desa, bekerjasama dengan BPD.Pemda menitipkan modal di bank tersebut untuk
dikelola.Masyarakat bisa meminjam modal tersebut dengan jumlah berdasarkan
penilaian bank.Pinjaman ini tidak berbunga.Sementara persyaratanya pun disederhanakan.Hal
ini untuk mendidik masyarakat berjiwa wiraswasta.
(3)
Pengembanagn Infrastruktur
Pengembangan Infrastruktur dimaksud adalah pengembangan
infrastruktur perdesaan yang diarahkan melalui kegiatan-kegiatan: a)
pembangunan perumahan dan lingkungan pemukiman, misalnya sanitasi lingkungan,
MCK, drainase, dan b) prasarana perhubungan semenisasi jalan desa, jembatan dan
tambahan perahu.
(4)
Rehabilitasi
rehabilitasi dicanangkan untuk menyelamatkan anak-anak yang
bekerja di sektor-sektor yang termasuk dalam bentuk-bnetuk terburuk pekerjaan
anak. Mereka diberikan pertolongan dengan rehabilitasi.Salah satu bentuk
rehabilitasi yang relatif mudah dilaksanakan dengan yang relatif murah
terjangkau adalah rehabilitas dalam masyarakat (community based rehabilitation)
di mana masyarakat secara bersama-sama dan partisipatif ikut meberikan
pertolongan kepada anak-anak yang diselamatkan dari pekerja-pekerja yang
berbahaya.Strategi pendekatan komunitas ini sesuai dengan strategi Gerbang
Dayaku dalam pembangunan wilayah perdesaan dan perkotaan.
d.
Faktor penghambat program Percontohan ZBPA
Menurut
Bupati Kukar Syaukani HR, permasalahan pekerja anak dan bentuk-bentuk
terburuknya selain disebabkan oleh faktor kemiskinan, juga dapat akibatkan
faktor budaya, kebiasaan dan lain sebagainya. Dari hasil monitoring dan
pendataan pekerja anak yang dilakukan di Kabupaten Kutai Kartanegara, maka ada
beberapa faktor yang menyebabkan anak terpaksa berkerja, antara lain:
(1)
Alasan ekonomi;ketika kondisi keluarga terancam oleh minimnya sumber daya
ekonomi yang dihasilkan kepala keluarga.
(2)
Kebiasaan di beberapa kelompok masyarakat yang menganggap bahwa anak-anak harus
memikul tanggung jawab keluarga dengan cara berpartisipasi dalam pekerjaan yang
dilakukan orang tua mereka.
(3)
Alasan budaya; tidak ada larangan membantu orang tua untuk bekerja, Hal ini
telah terjadi turun temurun.
(4)
Banyaknya jumlah tanggungan dalam keluarga yang memaksa anak untuk memasuki
dunia kerja.
(5)
Tidak dapat melanjutkan pendidikan (drop out) dengan alasan yang sifatnya
pribadi, malas, dipengaruhi teman atau sudah menikah.
e.
Upaya Operasional ZBPA serta sosialisasinya
Guna
mencapai keberhasilan program penghapusan pekerja anak, maka sesuai dengan
Perda No.9 tahun 2004 program aksi ZBPA di Kabupaten Kutai Kartanegara dengan
target waktu selama 7 tahun yang dimulai tahun 2002-2009 dengan tahapan
kegiatan mencakup 18 Kecamatan.
Tahap pertama (2002-2004), meliputi Kecamatan Tenggarong, Loa Janan,
Samboja, Muara Jawa, Kota Bangun, dan Muara Muntai.
Tahap Kedua (2004-2006), meliputi Kecamatan Tenggarong Seberang,
Anggana, Marang Kayu, Muara Wis, Sebulu, dan Muara Kaman.
Tahap Ketiga (2006-2008), meliputi Kecamatan Loa Kulu, Sanga-Sanga,
Muara Badak, Kenohan, Kembang Janggut, dan Tabang.
Tahap Keempat (2008-2009), merupakan pemantapan dan evaluasi atau kajian
kegiatan dari tahun 2002-2008.
Untuk lebih menunjang program aksi sebagaimana tahapan di
atas, maka peluang-peluang yang dapat diraih ke depan berupa tujuan-tujuan yang
hendak dicapai mencakup peningkatkan pengetahuan dasar. Kebijakan pendidikan
dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan anak laki dan perempuan yang terlibat
atau yang berisiko.Mengembangkan perubahan perilaku dan sikap.Meningkatkan
kondisi sosial ekonomi dan kesempatan bagi keluarga miskin yang terlibat dan
berisiko.Melakukan kajian dasar, dan engelola data base.Menyediakan pendidikan
non formal untuk anak-anak. Menyediakan bea siswa untuk anak yang terlibat dan
berisiko. Mengajar life skiil untuk anak-anak.Memperbaiki kesejahteraan guru
dan kaum profesional.Membangun prasarana pendidikan. Meningkatkan pemahaman
akan ZBPA. Meningkatkan keikutsertaan masyarakat dan pihak terkait.Memperkuat
dukungan terhadap pelaksanaan ZBPA.Mengajarkan life skiil utk orang tua.
SosialisasiZBPA
Program Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA)
di Kukar, mendapat perhatian banyak kalangan baik di tingkat nasional maupun
internasional. Kabag Humas dan Protokol Pemkab Kukar Dra Sri Wahyuni, MPP
mengatakan respons positif juga ditunjukkan semua lapisan masyarakat Kukar,
termasuk 622 perusahaan yang beroperasi.Sosialisasi ZBPA yang demikian intensif
dilakukan Pemkab Kukar mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan sampai tingkat
desa. Ribuan stiker disebar dan ditempel di rumah-rumah penduduk. Beberaba
baliho berukuran besar terpampang di banyak tempat. Sejumlah perusahaan juga
ikut berpartisipasi menyosialisasikan ZBPA yang diatur dalam Perda Nomor 09
Tahun 2004 yang antara lain mengatur setiap anak usia 15 tahun ke bawah harus
bersekolah. Perda itu antara lain mengatur, apabila ada orangtua menghentikan
anaknya sekolah karena dipekerja-kan untuk kepentingan ekonomi keluarga, akan
dikenakan sanksi kurungan badan 6 bulan atau denda Rp 5 juta.
Menurut Kabag Humas dan Protokol Pemkab
Kukar Dra Sri Wahyuni, MPP, sosialisasi ZBPA itu membuahkan hasil dengan
semakin menurunnya jumlah anak yang bekerja di daerah ini. Seperti di Kecamatan
Sebulu, jumlah pekerja anak pada 2005 tercatat 126, turun menjadi 55 orang pada
pertengahan 2006 dan memasuki 2007 tinggal 13 orang.
2. Implementasi Program percontohan
ZBPA pada pemerintah Daerah di Tingkat Kabupaten atau Provinsi di Indonesia.
Seperti kita ketahui stiap daerah
pemerintah Kabupaten maupun Provinsi di Indonesia memiliki kemampuan
masing-masing dalam upaya pencegahan pekerja anak. Hal ini tentu saja didorong
oleh kebijakan dari pemerintah daerah sesrta anggaran yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan operasionalnya pada program-program terkait yang akan dijalankan.
Pada program percontohan ZBPA di
Kabupaten Kutai Kartanegara, diketahuI bahwa kebijakan dalam pencegahannya
dititik beratkan pada sektor pendidikan. Dimana Pemda terkait melakukan
pembebasan SPP dan BP3 agar seluruh anak memperoleh pendidikan dasar 9 tahun,
pemberian beasiswa subsidi kepada pelajar serta meningkatkan kulaifikasi guru
dalam kinerjanya. Secara formal, kebijakan-kebijakan memang sangat didukung
oleh anggaran yang disediakan, karena seperti kita ketahui bahwa Kutai
Kartanegara merupakan salah satu kabupaten terkaya di Idonesia. Lantas,
bagaimana dengan daerah-daerah lain yang mungkin memiliki kemampuan dalam segi
anggaran?. Solusinya adalah pertama, tetap konsisten pada pendidikan wajib
belajar 9 tahun yang telah di standarkan. Dalam hal ini, upaya khusus yang
perlu dilakukan sebenarnya sama saja, diantaranya :
a. mengajak kembali pekerja anak
yang putus sekolah ke bangku sekolah dengan
memberikan bantuan beasiswa;
b. memberikan pendidikan nonformal;
c. mengadakan keterampilan bagi anak
, pembiayaan atau penanggulangan pekerja anak bisa dilakukan oleh masyarakat
yang peduli terhadap kesejahteraan anak APBN, APBD bantuan luar negeri maupun
sumber yang sah dan tidak mengikat.
Disisi lain peran LSM juga sangat
penting , yakni sebagai lembaga nonpemerintah yang memiliki komitmen terhadap
pemberdayaan kaum lemah dan tertindas. LSM telah memberikan suatu kontribusi
yang sangat besar dalam mewujudkan suatu masyarakat yang berkeadilan sosial.
Tanpa adanya dorongan advokasi, baik melalui lembaga-lembaga yuridis (yudicial settlement) maupun lembaga
non-yuridis (non-yudicial settlement)
seperti: class action, dorongan
moral (moral force) dan
berbagai fungsi mediasi yang dilakukan oleh berbagai LSM, kecil kemungkinan
eksploitasi pekerja anak muncul menjadi isu nasional bahkan internasional.
Berkembangnya jumlah LSM yang secara aktif menaruh perhatian pada perlindungan
anak di Indonesia, khususnya terhadap pekerja anak, telah menghasilkan berbagai
hasil studi yang sangat positif sebagai dokumen yang sangat langka dalam
perbendaharaan perpustakaan di Indonesia. LSM yang aktif memperjuangkan
penghapusan eksploitasi pekerja anak di Indonesia antara lain adalah:
- Anti-Slavery International (ASI);
- Lembaga Pengkajian Sosial "Humana" (GIRLI);
- The Indonesian Child Advocacy Institute (LAAI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI);
- Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak (P4A);
- International Programme on the Elimination of Child Labour IPEC - ILO ; dan
- Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia.
Meskipun demikian, masih terdapat
berbagai LSM yang tidak secara khusus memfokuskan pada perlindungan pekerja
anak di Indonesia akan tetapi memasukkan hal tersebut sebagai salah satu
programnya. LSM seperti ini antara lain: Yayasan Rumah Singgah, Suara Ibu
Peduli (SIP), dan Lembaga Perlindungan Anak.
Dengan telah diratifikasinya konvensi
tentang Hak-hak Anak (convention on
the rights of child), Indonesia terikat dalam suatu jaringan
perlindungan anak dunia yang berada dibawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Konvensi tersebut kemudian akan dituangkan dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak.
Perkembangan yang lain yang bisa dilihat adalah
mengenai perkembangan ekonomi kerakyatan sebagai upaya pengentasan kemiskinan
yang menjadi faktor utama meningkatnya pekerja anak. Seperti kita ketahui,
pemerintah telah mencanangkan program keluarga harapan yang merupakan akses
dari Program KB dengan berbagai pelayanan kesehatan gratis yang sudah
dijalankan dan tersedia diseluruh wilayah di Indonesia seperti Program
Puskesmas dan Posyandu yang melayani kesehatan ibu hamil dan program imunisasi.
Program lain adalah PNPM Mandiri sebagi program
pengembangan infrastruktur yang dikucurkan pemerintah pusat ke daerah-daerah
serta adanya pinjaman lunak bersyarat kepada masyarakat, program BLT, dan lain
sebagainya.
Sebagai tambahan juga adanya program rumah singgah dalam
penangggulanagan masalah pekerja anak. Hal ini terkait dengan beberapa
deartemen lain seperti Departemen Sosial (Kementrian) Kesejahteraan Rakyat,
Depnaker dan transmigrasi serta Kementrian Pemberdayaan Perempuan.
Dan terakhir yakni usaha
pengangkatan anak sebagai upaya perlindungan pekerja anak. Pengangkatan anak
sendiri sebenarnya merupakan suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk
dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri. Berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku
di masyarakat yang bersangkutan. Dalam pelaksanaannnya, motivasi
pengangkatan anak merupakan hal yang perlu diperhatikan, dan harus dipastikan
dilakukan demi kepentingan anak. Selain itu, disebutkan bahwa pengangkatan anak
akan mempunyai dampak perlindungan anak apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Diutamakan pengangkatan anak
yatim piatu,
b. Anak yang cacat mental, fisik,
sosial,
c. Orang tua anak tersebut memang
sudah benar-benar tidak mampu mengelola
keluarganya,
d. Bersedia memupuk dan memelihara
ikatan keluarga antara anak dan orang tua
kandung sepanjang hayat,
e. Hal-hal lain yang tetap
mengembangkan manusia seutuhnya.
Berikutnya,
faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian dalam pengangkatan anak sebagai
berikut:
1) Subyek yang terlibat dalam
perbuatan mengangkat anak.
2) Alasan atau latar belakang
dilakukannya perbuatan tersebut, baik dari pihak
adoptan (yang mengadopsi) maupun
dari pihak orang tua anak.
3) Ketentuan hukum yang mengatur
pengangkatan anak.
4) Para pihak yang mendapat
keuntungan dan kerugian dalam pengangkatan anak.
Dalam
pelaksanaan pengangkatan anak, pelayanan bagi pihak yang mengangkat anak adalah
hal paling utama. Selanjutnya, harus diperhatikan pula kepentingan pemilik anak
agar menyetujui anaknya diambil oleh orang lain. Pelayanan berikutnya diberikan
bagi pihakpihak lain yang berjasa dalam terlaksana proses pengangkatan anak.
Dan yang paling akhir mendapatkan pelayanan adalah anak yang diangkat.
Sepanjang proses tersebut, anak benar-benar dijadikan obyek perjanjian dan
persetujuan antara orang-orang dewasa. Berkaitan dengan kenyataan ini, proses
pengangkatan anak yang menuju ke arah suatu bisnis jasa komersial merupakan hal
yang amat penting untuk dicegah karena hal ini bertentangan dengan asas dan
tujuan pengangkatan anak.
Pada
dasarnya, pengangkatan anak tidak dapat diterima menurut asas-asas perlindungan
anak.Pelaksanaan pengangkatan anak dianggap tidak rasional positif, tidakdapat
dipertanggungjawabkan, bertentangan dengan asas perlindungan anak, serta kurang
bermanfaat bagi anak yang bersangkutan.
Beberapa usaha yang dapat dilakukan
untuk mencegah pelaksanaan pengangkatan
anak adalah sebagai berikut:
a. Memberikan pembinaan mental bagi
para orang tua, khususnya menekankan pada pengertian tentang manusia dan anak
dengan tepat. Menegaskan untuk tidak mengutamakan kepentingan diri sendiri yang
dilandaskan pada nilai-nilai sosial yang menyesatkan tentang kehidupan
keluarga.
b. Memberikan bantuan untuk
meningkatkan kemampuan dalam membangun keluarga sejahtera dengan berbagai cara
yang rasional, bertanggung jawab, dan bermanfaat.
c. Menciptakan iklim yang
dapat mencegah atau mengurangi pelaksanaan pengangkatan anak.
d. Meningkatkan rasa tanggung jawab
terhadap sesama manusia melalui pendidikan formal dan nonformal secara merata
untuk semua golongan masyarakat.
Upaya –upaya diatas sebagai tambahan
dalam program Percontohan ZBPA yang sebenarnya sudah sangat efektif
dilakssanakan diseluruh daerah di Indonesia. Kendala yang harus dilaksanakan
adalaah peningkatan anggaran APBN dan APBS setiap daerah.Selain itu, peran
control social dalam hal ini adalah diharapkan program-program percontohan ZBPA
bisa berjalan dan terhindar dari praktek –praktek yang menguntungkan pihak
tertentu.Peraturan Undang-Undang harus dijalankan seefektif mungkin baik dengan
melaksanakn sanksi terkait dalam program ini.Pengevaluasian dan tanggap dari
pemerintah menjadi kunci utama disini.Dan terakhir, masyarakat sebagai
pelaksana dapat melaksanakan dan memahami program ZBPA sebagai upaya peningkatan
mutu masyarakat kearah yang lebih baik.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Permasalahan pekerja anak sebenarnya hampir menyerupai
sebuah gunung es. Kompleksitas pada dasar permasalahannya tidak tampak,
sedangkan aktualisasi pada permukaan berupa tindakan-tindakan eksploitasi
terhadap anak juga hanya muncul sedikit. Budaya masyarakat yang lebih cenderung
bersifat patriarchi dan
kemiskinan secara struktural menciptakan suatu iklim yang permisif terhadap
pekerja anak di Indonesia. Terbatasnya studi dan perhatian terhadap kondisi
pekerja anak di Indonesia memberikan suatu kontribusi terhadap terbelenggunya
nasib pekerja anak.
Dari waktu ke waktu, perlindungan
terhadap pekerja anak di Indonesia tidak banyak mengalami perubahan.
Perlindungan secara yuridis yang merupakan faktor penting terhadap keberadaan
pekerja anak mengindikasikan kemenduaan sikap pemerintah terhadap masalah
ini. Penerapan discretion clausule
dalam berbagai aturan hukum tentang ketenagakerjaan, sering menimbulkan
interpretasi yang berbeda-beda bahkan memberikan suatu celah hukum terhadap
eksploitasi pekerja anak. Hal inipun ternyata masih dijumpai pada Undang Undang
Ketenagakerjaan yang baru, yaitu UU Ketenagakerjaan No. 25 tahun 1997. Keadaan
sosial dan ekonomi masyarakat yang sebagian terbesar berada pada batas garis
kemiskinan mendorong terjadinya enkulturasi "bekerja membantu
keluarga" yang sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak secara
sehat.
Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA) sebagai
solusi dalam pemberantasan pekerja anak dirasakan sebagai komitmen yang dapat
digunakan untuk mempertahankan momentum pemberdayaan dan advokasi terhadap
pekerja anak, seperti yang telah dilakukan oleh LSM-LSM dalam usaha untuk
menghilangkan praktek pekerja anak di Indonesia. Akhirnya, Penjajagan dan
pengembangan jaringan kerja sama baik nasional, regional, maupun internasional
merupakan alternatif penting. Karena dengan kerjasama ini diharapkan dapat
membantu memberikan pemecahan terhadap permasalahan mendasar yang dihadapi oleh
pekerja anak di Indonesia, yaitu: kemiskinan dan tingkat pendidikan yang
rendah.
B. Saran
Berdasarkan analisis dan pembahasan
di atas, maka ada beberapa hal yang dapat menjadi catatan kita bersama guna
meminimalisir kemungkinan terjadinya tindakan- tindakan serupa pada masa yang
akan datang, mengingat apa yang tertulis pada pasal 20 Undang-Undang No. tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: “Negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak”. Oleh karena itu, ada beberapa saran yang
dapat dijadikan acuan bagi kita semua, antara lain:
1. Keluarga
a. Lebih memahami dan mengerti bahwa
anak bukanlah milik pribadi karena pada dasarnya setiap anak adalah sebuah
pribadi yang utuh yang juga memiliki hak sebagaimana individu lainnya, sehingga
anak tidak dapat dijadikan tumpuan amarah atas semua permasalahan yang dialami
orangtua (Domestic Based Violence).
b. Lebih berhati-hati dan memberikan
perhatian serta menjaga anak-anak dari kemungkinan menjadi korban kekerasan
yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar kita (Community Based Violence).
2. Masyarakat
a. Lebih peka dan tidak menutup mata
terhadap keadaan sekitar sehingga apabila terjadi kekerasan terhadap anak di
lingkungan sekitar penanganannya dapat lebihcepat guna menghindari kemungkinan
yang lebih buruk pada anak yangbersangkutan.
b. Aparat hukum seharusnya dapat
lebih peka anak pada setiap proses penanganan
perkara anak baik dalam hal anak
sebagai korban tindak pidana maupun anak sebagai pelaku dengan mengedepankan
prinsip demi kepentingan terbaik bagi anak (the best interest for the child).
c. Pihak sekolah dan orangtua asuh
sebagai pendidik kedua setelah orangtua kandung, diharapkan dapat lebih
sensitif anak dalam mendidik anak-anak yang berada dibawah pengasuhan mereka.
3. Negara
a. Menyelesaikan dengan segera
konflik-konflik sosial dan politik yang berkepanjangan di berbagai daerah
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu.1997. Ilmu
Sosial Dasar. Semarang : PT Rineka Cipta
http://digitallib.itb.ac.id diakses tanggal 6 juni 2009
http://duniapsikologi.com diakses tanggal 6 juni 2009
http://ebursa.depdiknas.go.id diakses tanggal 6 juni 2009
http://sekitarkita.com diakses tanggal 6 juni 2009
http:// www. kabar Indonesia.com diakses tanggal 6 juni
2009
Soerjabrata, Soemardi.1982. Psikologi Perkembangan Jilid I Bagian Penyajian Secara Historis.
Yogyakarta : Rake press Yogyakarta.
Sunarto,dkk. 2002. Perkembangan
Peserta Didik. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta
Tim Pembina Lelompok Mata Kuliah Berkehidupan
Bermasyarakat. 2003. Modul Acuan Prosedur Pembelajaran Mata Kuliah Berkehidupan
Bermasyarakat. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional DIRJEN DIKTI Pembinaan
Akademik dan Kemahasiswaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar