Wederrechtelijkheid atau melawan hukum memiliki defenisi yang berbeda-beda sebagaimana dikemukakan oleh para ahli hukum pidana. Simons menyebut dengan “bertentangan dengan hukum pada umumnya”. Sementara, Noyon menyatakan ”bertentangan dengan hukum subjektif seseorang”. Adapun van Hamel dan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda), memberi pengertian dengan ”tanpa hak atau wewenangnya”.
Secara teoretis, bahwa Wederrechtelijkheid dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: (i) formeel wederrechtelijkheid atau ajaran
melawan hukum formil, ialah perbuatan yang dikategorikan sebagai melawan hukum
dinyatakan didalam ketentuan Undang-Undang (UU); (ii) materiil wederrechtelijkheid atau ajaran melawan hukum materil,
ialah perbuatan melawan hukum pada umumnya, walaupun UU tidak menyebutkan
dengan jelas bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang melawan hukum.
Pasal berikut: (i) Pasal 187 dan Pasal 338 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan norma hukum yang tidak menyatakan wederrechtelijkheid sebagai unsur dari
delik; (ii) Pasal 167, Pasal 333, dan Pasal 406 KUHP, merupakan norma hukum
yang menyatakan dengan tegas bahwa wederrechtelijkheid
sebagai unsur dari delik.
Moeljatno berpendapat, bahwa kesalahan dan
kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan
pidana, karena hal-hal tersebut melekat pada orang yang berbuat.
Pengertian Melawan Hukum Menurut
Bemmelen (2 makna) yaitu : (1) Sebagai
bertentangan dengan ketelitian yang pantas dalam pergaulan masyarakat mengenai
orang lain atau barang, (2) Bertentangan dengan kewajiban yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Pengertian Melawan Hukum Menurut
Hazewink el-Suringa (3 makna) yaitu : (1) Tanpa hak atau
wewenang sendiri, (2) Bertentangan dengan hak orang lain, (3) Bertentangan
dengan hukum objektif.
Pengertian Melawan Hukum Menurut Simons adalah sebagai unsur delik sepanjang
disebutkan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan.
Pengertian Melawan Hukum Menurut Pompe (merujuk Putusan Hoge Raad, 31
Januari 1919) adalah melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang
melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukum yang melakukan
perbuatan tersebut, serta bertentangan dengan kesusilaan dan asas-asas pergaulan
dalam masyarakat.
Soebekti
dan Tjitrosudibio menterjemahkannya sebagai berikut:
“Tiap
perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”.
MA Moegni Djojodirdjo hanya mencerminkan
sifat aktifnya saja sedangkan sefiat pasifnya diabaikan. Pada istilah “melawan”
itu sudah termasuk pengertian perbuatan yang bersifat aktif maupun pasif.
Menurut
Rachmat Setiawan dalam bukunya “Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum”,
perbuatan melawan hukum dapat dibedakan menjadi 2 interpretasi, yaitu
interpretasi sempit atau lebih dikenal dengan ajaran legisme dan interpretasi
luas.
Menurut
ajaran Legisme (abad 19), suatu perbuatan melawan hukum diartikan sebagai beruat
atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat
atau melanggar hak orang lain. Sehingga menurut ajaran Legistis suatu perbuatan
melawan hukum harus memenuhi salah satu unsure yaitu: melanggar hak orang lain
bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat yang telah diatur dalam
undang-undang.
Ajaran
legistis yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum tidak hanya terpaku pada
melanggar undang-undang semata, tetapi juga jika perbuatan tersebut melanggar
kaedah-kaedah kesusilaan dan kepatutan.
Hoge
raad (1919) peerbuatan melawan hukum tidak sama dengan melawan undang-undang
tetapi perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai “berbuat” atau “tidak
berbuat” yang memperkosa hak oranglain atau bertentangan dengan kewajiban hukum
si pembuat atau bertentangan dengan asas kesusilaan dan kepatuhan dalam
masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain.
dalam
unsur kesalahan, sudah mencakup juga unsur perbuatan melawan hukum. Di negeri
Belanda, aliran ini dianut oleh Van Goudever.
Teori
Condition
Sine Qua Non dari Von Buri, seorang ahli hukum Eropa Kontinental
yang merupakan pendukung teori faktual ini. menyatakan:[15]
“suatu
hal adalah sebab dari akibat, sedangkan suatu akibat tidak akan terjadi bila
sebab itu tidak ada.”
Menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu
bertanggungjawab, jika perbuatan Condition
Sine Qua Non menimbulkan kerugian.
“Suatu
hal adalah sebab dari suatu akibat bila menurut pengalaman masyarakat dapat
diduga, bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat itu.”
Menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan melawan hukum
hanya bertanggungawab untuk kerugian, yang selayaknya diharapkan sebagai akibat
dari perbuatan melawan hukum.
Menurut
Vollmar:
“Terdapat
hubungan kausal, jika kerugian menurut aturan pengalaman secara layak merupakan
akibat yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan melawan hukum”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar