"Sebab itu Marilah Mendatangkan Damai Sejahtera dan Berguna untuk Saling Membangun"(Roma 14:19)

Sabtu, 06 April 2013

AJARAN TENTANG MELAWAN HUKUM (Wederrechtelijkheid)


Wederrechtelijkheid atau melawan hukum memiliki defenisi yang berbeda-beda sebagaimana dikemukakan oleh para ahli hukum pidana. Simons menyebut dengan “bertentangan dengan hukum pada umumnya”. Sementara, Noyon menyatakan ”bertentangan dengan hukum subjektif seseorang”. Adapun van Hamel dan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda), memberi pengertian dengan ”tanpa hak atau wewenangnya”.

Secara teoretis, bahwa Wederrechtelijkheid dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: (i) formeel wederrechtelijkheid atau ajaran melawan hukum formil, ialah perbuatan yang dikategorikan sebagai melawan hukum dinyatakan didalam ketentuan Undang-Undang (UU); (ii) materiil wederrechtelijkheid atau ajaran melawan hukum materil, ialah perbuatan melawan hukum pada umumnya, walaupun UU tidak menyebutkan dengan jelas bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang melawan hukum.

Pasal berikut: (i) Pasal 187 dan Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan norma hukum yang tidak menyatakan wederrechtelijkheid sebagai unsur dari delik; (ii) Pasal 167, Pasal 333, dan Pasal 406 KUHP, merupakan norma hukum yang menyatakan dengan tegas bahwa wederrechtelijkheid sebagai unsur dari delik.

Moeljatno berpendapat, bahwa kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal tersebut melekat pada orang yang berbuat.

Pengertian Melawan Hukum Menurut Bemmelen (2 makna) yaitu : (1) Sebagai bertentangan dengan ketelitian yang pantas dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau barang, (2) Bertentangan dengan kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang.
Pengertian Melawan Hukum Menurut Hazewink el-Suringa (3 makna) yaitu : (1) Tanpa hak atau wewenang sendiri, (2) Bertentangan dengan hak orang lain, (3) Bertentangan dengan hukum objektif.
Pengertian Melawan Hukum Menurut Simons adalah sebagai unsur delik sepanjang disebutkan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan.
Pengertian Melawan Hukum Menurut Pompe (merujuk Putusan Hoge Raad, 31 Januari 1919) adalah melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukum yang melakukan perbuatan tersebut, serta bertentangan dengan kesusilaan dan asas-asas pergaulan dalam masyarakat.
Soebekti dan Tjitrosudibio menterjemahkannya sebagai berikut:
“Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
MA Moegni Djojodirdjo hanya mencerminkan sifat aktifnya saja sedangkan sefiat pasifnya diabaikan. Pada istilah “melawan” itu sudah termasuk pengertian perbuatan yang bersifat aktif maupun pasif.
Menurut Rachmat Setiawan dalam bukunya “Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum”, perbuatan melawan hukum dapat dibedakan menjadi 2 interpretasi, yaitu interpretasi sempit atau lebih dikenal dengan ajaran legisme dan interpretasi luas.
Menurut ajaran Legisme (abad 19), suatu perbuatan melawan hukum diartikan sebagai beruat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat atau melanggar hak orang lain. Sehingga menurut ajaran Legistis suatu perbuatan melawan hukum harus memenuhi salah satu unsure yaitu: melanggar hak orang lain bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat yang telah diatur dalam undang-undang.
Ajaran legistis yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum tidak hanya terpaku pada melanggar undang-undang semata, tetapi juga jika perbuatan tersebut melanggar kaedah-kaedah kesusilaan dan kepatutan.
Hoge raad (1919) peerbuatan melawan hukum tidak sama dengan melawan undang-undang tetapi perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai “berbuat” atau “tidak berbuat” yang memperkosa hak oranglain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat atau bertentangan dengan asas kesusilaan dan kepatuhan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain.
dalam unsur kesalahan, sudah mencakup juga unsur perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda, aliran ini dianut oleh Van Goudever.
Teori Condition Sine Qua Non dari Von Buri, seorang ahli hukum Eropa Kontinental yang merupakan pendukung teori faktual ini. menyatakan:[15]
“suatu hal adalah sebab dari akibat, sedangkan suatu akibat tidak akan terjadi bila sebab itu tidak ada.”
       Menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu bertanggungjawab, jika perbuatan Condition Sine Qua Non menimbulkan kerugian.
­­­Teori Adequate Veroorzaking dari Van Kries, menyatakan:[16]
“Suatu hal adalah sebab dari suatu akibat bila menurut pengalaman masyarakat dapat diduga, bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat itu.”
       Menurut teori ini orang  yang melakukan perbuatan melawan hukum hanya bertanggungawab untuk kerugian, yang selayaknya diharapkan sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum.
Menurut Vollmar:
“Terdapat hubungan kausal, jika kerugian menurut aturan pengalaman secara layak merupakan akibat yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan melawan hukum”

Tidak ada komentar: