BAB I
PENDAHULUAN
A. RIWAYAT BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
Untuk memahami hukum pidana para teoris, praktisi dan mahasiswa mau tidak mau
harus mempelajari buku-buku asing. Hal ini disebabkan karena kita belum
mempunyai hukum pidana yang disusun oleh bangsa kita sendiri. Terutama sekali
kita pelajari hukum pidana dari negeri Belanda. Paling tidak kita harus
mempelajari buku-buku hukum pidana yang telah diterjemahkan kedalam bahasa
kita, dan buku-buku tulisan hukum pidana oleh pakar hukum pidana Indonesia.
Pada waktu kita memproklamirkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang kita
cintai, di dalam aturan peralihan pasal II UUD 1945, menyatakan bahwa :
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut UUD ini”
Berdasarkan aturan peralihan tersebut, karena aturan peralihan adalah untuk
menjaga jangan sampai terjadi kekosongan hukum (rechtsvacum), maka KUHP yang
berlaku di Hindia Belanda dinyatakan tetap berlaku. Hal inipun disebabkan, KUHP
negeri Belanda berlaku di Hindia Belanda, ileh karena adanya ketentuan dari
pasal 75 Regering Reglement (RR) yang menentukan bahwa :Hukum Pidana yang
berlaku di Hindia Belanda harus sesuai dengan hukum pidana yang berlaku
dinegeri Belanda, sekedar dengan perubahan atau penambaahan yang dianggap perlu
oleh keadaan setempat (Hindia Belanda).
Azas yang terdapat dalam pasal 75 RR disebut concordantie Beginselen. Setelah
pasal 75 RR diganti dengan IS, yang tertuang dalam pasal 131 IS. Karena pasal
31 IS, dan pasal 11 Aturan peralihan UUD 1945 ini, maka sampai dewasa ini KUHP
negeri Belanda itu masih tetap dipelajari dan diterapkan terhadap pelanggannya,
dengan beberapa perubahan, penghapusan dan penambahan berdasarkan palsafah
hidup bangsa Indonesia.
1. Riwayat Pembentukan KUHP di Negeri Kita
Mula-mula hukum pidana yang berlaku di negeri kita (Hindia Belanda) adalah
hukum pidana tidak tertulis. Sejak pemerintah Hindia Belanda di Batavia barulah
kita mengenal hukum pidana tertulis, yang terdiri dari peraturan-peraturan
sebagai berikut :
a. De Bataviasche Statutean (1642), yang memuat hukum pidana khusus.
b. Intermaire Strafbefaligen (1848), yang mengatur beberapa hukum pidana
khusus.
c. Het Wetboek van Strafrechvoor De Eurofeanen (S. 1866: 55). KUHP ini hanya
belaku bagi golongan Erofah dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1867.
Ketentuan butir a dan b diatas berlaku bagi golongan Erofah. Bagi penduduk asli
berlaku hukum Adat (hukum tidak tertulis). Baru sejak tahun 1866 dikenal
kodifikasi (pembukuan) hukum pidana.
d. Het Wetboek van Strafrechtvoor Irlanders En Daarmede gelijkgestelde (S. 1872
: 85)
KHUP ini juga hanya berlaku bagi golongan Indonesia, dan orang yang
dipersamakan dengan golongan Indonesia.
e. Politie Strafreglement
Ketentuan ini bersifat dualistis, karena ada politie Strafreglement yang
berlaku dalam golongan Erofah dan ada pula yang berlaku bagi golongan
Indonesia.
2. Perkembangan hukum pidana di Negeri Belanda
Mulai pada tahun 1809, dikenal kodifikasi :Hei Criminele Wetboek voor Konindryk
Holland sampai tahun 1811. oleh karena Negara Belanda diduduki oleh Perancis, maka
di negeri Belanda berlakulah Code Penal (Hukum Pidana Perancis).
Untuk mengganti Code Penal (CP), rancangannya selesai di susun oleh Panitia
tahun 1875, selanjutnya diajukan pada tweede kamer pada tahun 1879. pada tahun
1881 terbentuklah KUHP Belanda yang bersifat nasional. Karena perlu penyesuaian
dan persiapan, maka peraturan Hukum Pidana ini, barulah berlaku pada tahun
1886. jadi Negeri Belanda itu sejak bebas dari penjajahan Perancis selama 11
tahun baru dapat membentuk KHUP nasionalnya (1875-1886).
3. Perkembangan KUHP di Indonesia
Semenjak adanya ketentuan hukum pidana pada tahun 1866 dan 1872, maka pada
tahun 1898, berdasarkan pasal 75RR di Nederland Indie haru dibentuk KUHP yang
disesusaikan dengan hukum pidana yang berlaku di negeri Belanda. Pada tahun
1898 rancangannya itu telah selesai disusun, tetapi belum ditetapkan
berlakunya, karna masih menunggu rancangan KUHP untuk golongan Indonesia.
Rancangan KUHP Indonesia disusun oleh Mr. Slingenberg. Menteri jajahan waktu
itu Mr. Inderburg menginginkan suatu unifikasi. Karena itu pada tahun 1913
panitia menyusun KUHP yang berlaku bagi seluruh penduduk Hindia Belanda. Pada
tanggal 15 Oktober 1915 ditetapkan Wet Boek van Strafrecht voor Nederland Indie
(S. 1915 : 75), mulai berlakunya pada tanggal 1 Januari 1918 (tiga tahun
kemudian), oleh karena itu harus mengadakan persiapan-persiapan dan
aturan-aturan cara berlakunya. KUHP yang berlaku di Negara Belanda, hal ini
berdasarkan azas Concordanantie dengan perubahan-perubahan menurut keadaan
setempat.
Pada tahun 1942 Jepang menjajah Indonesia, pada waktu itu Nederland Indie
menyerahkan kepada Jepang. Pada saat itu menetapkan, bahwa KUHP lama tetap
berlaku.
Selanjutnya pada tahun 1945 bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan dan tetap
memberlakukan KUHP yang telah ada dan menyatkan masih tetap berlaku untuk
mencegah rechtvacuum. Kemudian baru lah diadakan pencabutan, perubahan dan
penambahan disana sini disesuaikan dengan alam pikiran dan falsafah hidup
bangsa Indonesia sendiri. Sampai saat ini KUHP lama masih tetap berlaku, karena
rancanga KUHP yang bersifat nasinal, walaupun telah selesai disusun, tetapi
belum mendapat persetujuan dari lembaga legislatif.
B. BEBERAPA PENGERTIAN ISTILAH DALAM HUKUM PIDANA
Berdasarkan ilmu pengetahuan hukum pidana (doktrin) dikenal 3 pengertian, yaitu
1. Hukum pidana dalam arti objektif (Ius Poenale) dan hukum pidana dalam arti
subjektif (Ius Poeniendi)
2. Hukum pidana umum ( Algemene Strafrech) dan hukum pidana khusus (Bijzondere
Strafrecht).
3. Hukum pidana material (materiale strafrecht) dan hukum pidana formal
(Strafproces recht)
ad. 1. Hukum Pidana objektif dan Hukum Pidana Subjektif
Hukum Pidana dalam arti objektif (Ius Poenale), ialah semua larangan (verboden)
dan keharusan (geboden) yang pelanggarannya diancam dengan pidana oleh
undang-undang serta mengatur syarat-syarat bila pidana dapat dijatuhkan.
Hukum Pidana dalam arti subjektif (Ius Poenendie), ialah hak negara untuk
mempidana seseorang, apabila larangan dan hukuman itu dilanggar.
Hubungan antara hukum pidana dalam arti objektif dengan hukum pidana dalam arti
subjektif, ialah bahwa hukum pidana dalam arti objektif itu hanya timbul bila
mana ditentukan peraturan-peraturan tentang larangan dan keharusan. Dengan kata
lain hak Negara untuk menghukum dibatasi oleh hukum pidana dalam arti objektif.
a.d.2. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
Hukum pidana umum (Algemene atau generale starfrecht), ialah hukum pidana yang
berlaku bagi setiap orang, sebagai contoh KUHP.
Hukum Pidana Khusus (BijzondereStafrecht), ialah hukum pidana yang berlaku bagi
orang-orang tertentu saja, sebagai contoh :Hukum Pidana Militer (KUHPM), Hukum
Pidana Fiskal ( Fiscale Strafrecht).
Perbedaan antara hukum pidana umum dengan hukum pidana militer.
Hukum Pidana militer juga mengatur yang terdapat dalam hukum pidana umum.
Jenis-jenis kejahatan dalam hukum pidana umum, berlaku juga pada anggota
militer. Hukum pidana militer. Apabila hukum pidana militer dihubungkan dengan
hukum pidana umum, disebut Ius Speciale.
Perbedaan hukum fiskal dengan hukum pidana umum, terletak pada masalah
pertangung jawaban seseorang menyimpang dari hukum pidana umum, karena itu
disebut Ius Singulare.
Ad. 3. Hukum pidana Meterial dan Hukum Pidana Formal
Hukum pidana material ( materiale Strafrecht),berisikan rumusan, sebagai berikut
:
1. Merumuskan tindak pidana
2. Mengatur siapa yang dapat dipertanggung jawabkan terhadap pelanggaran dari
pada peraturan dari pada peraturan yang dirumuskan sebagai tindak pidana.
3. Mengatur pidana apa yang dijatuhkan.
Dengan demikian hukum pidana material itu, adalah mengatur apakah, siapakah,
dan bagaimanakah sesuatu perbuatan yang dapat dipindana hukum pidana formal
(strafprocesrecht), adalah hukum yang mengatur cara hukum pidana material dapat
dilaksanakan atau hukum yang mengatur bagaimana orang beracara di luar maupun
dalam sidang pengadilan yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap hukum
pidana material. Hukum pidana formal (strafprocesrecht) disebut hukum Acara
Pidana, yang bermuat di dalam KUHAP (UU Nomor. 8/ 1981).
Hukum pidana material dan hukum Pidana Formal tersebut merupakan rincian dari
hukum pidana objektif.
C. SIFAT, TUGAS DAN TUJUAN HUKUM PIDANA
1. Sifat Hukum Pidana
Menurut para pakar hukum Pidana dan pakar hukum lainnya (Perdata, Tata Negara),
sifat hukum Pidana adalah Hukum Publik.
Menurut Van Apeldoorn (Inleiding tot de studie van het Hederlands recht),
beranggapan bahwa : “Hukum publik, ia memandang dalam suatu tindak pidana,
yaitu suatu pelanggaran tata tertib hukum dan tidak melihat dalam peristiwa
tindak pidana itu suatu pelanggaran kepentingan khusus daripada individual.
Penuntutannya tidak dapat diserahkan kepada individual yang dirugikan, akan
tetapi harus dijalankan oleh Pemerintah ( Jaksa Penuntun Umum ).
Van Hamel (Profesor Ilmu Hukum Pidana), memandang hukum pidana sebagai suatu
hukum publik, karena yang menjalankan hukum pidana itu sepenuhnya terletak
dalam tangan Pemerintah.
SIMONS, Melihat hukum pidana sebagai sebagai hukum publik, karena hukum pidana
itu mengatur hubungan antara individu dengan masyarakat. Hukum pidana
dijalankan untuk kepentingan masyarakat dan juga dijalankannya, karena
kepentingan masyarakat itu benar-benar memerlukannya.
Semula hukum pidana itu bersifat hukum Privat (hukum perdata). Penuntutannya
dilakukan oleh orang yang langsung dirugikan, dengan cara balas dendam karena
adanya permusuhan antar keluarga, lahirlah suku bangsa dan bangsa tertentu.
Dengan adanya kesadaran dibidang, hukum, maka hal ini tidak dapat dibiarkan,
sebab akan terus menerus menimbulkan permusuhan dikalangan kelompok suku bangsa
tersebut. Akhirnya hukum pidana itu tidak lagi melindungi kepentingan individu
saja, tetapi untuk melindungi masyarakat. Sebagai contoh, dalam hal kejahatan
pencurian tidak lagi merugikan kepentingan individu, tetapi yang dirugikan
adalah kepentingan masyarakat. Oleh karena itu tidak boleh lagi diadakan balas
dendam oleh individu yang dirugikan dengan cara tebusan atau denda, tetapi
dengan hukuman badan/penjara berdasarkan ketentuan hukum pidana.
Hukum pidana menurut sifatnya adalah hukum publik, artinya hukum yang mengatur
hubungan antara individu dengan negara dan masyarakat, dan hukum pidana itu
dilaksanakan untuk kepentingan umum (publik). Hal ini dapat diketahui dari :
a. Ketentuan pasal 344 KUHP;
Barang siapa merampas jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling
lama 12 tahun.
b. Hak untuk menuntut suatu perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang dan
diancam dengan hukuman tidak tergantung pada si penderita, akan tetapi terletak
pada alat-alat perlengkapan negara. Penuntutannya dilakukan oleh Jaksa Penuntut
Umum, tidak atas permintaan korban, kecuali dalam kasus delict aduan.
2. Tugas Hukum Pidana
Berdasarkan ilmu pengetahuan hukum pidana (doktrin) tugas dari hukum adalah
pidana adalah sebagai berikut :
a. Mempelajari dan menjelaskan azas-azas (beginselen) yang menjadi dasar dari
peraturan hukum pidana yang berlaku pada suatu saat dan tempat tertentu.
b. Mempelajari dan menjelaskan hubungan antara azas-azas yang satu dengan yang
lainnya.
c. Setelah memahami hubungan antara azas yang terdapat dalam peraturan hukum
pidana, maka ditempatkan azas-azas itu dalam suatu hubungan yang sistimatis,
agar dapat lebih memahami yang dimaksud dengan hukum pidana.
Terdapat 2 jenis aliran yang membahas tentang tugas hukum pidana, yaitu :
a. Aliran yang sempit (Prof. Zevenbergen)
Tugas dari hukum pidanaitu dibatasi ; Zeven bergen, menganggap hukum pidana
sebagai Norm Wetenschap, yaitu ilmu pengetahuan mengenai norma/kaedah.
b. Aliran yang luas (Prof. Simons)
Tugas hukum pidana tidak boleh dibatasi, tetapi harus diperluas dengan cara :
1) Mempelajari dan menentukan sebab-sebab dari kejahatan.
2) Setelah mempelajari dan menentukan sebab-sebab dari kejahatan, harus pula
mempelajarai dan menentukan cara memberantas kejahatan.
Perlunasan tugas hukum pidana ini disebut tugas dari Kriminologi.
Hubungan Kriminologi dengan Hukum Pidana, bahwa Kriminologi memberikan masukan
pada ilmu pengetahuan hukum pidana dalam rangka mencari sebab-sebab terjadinya
suatu kejahatan dan cara-cara penanggulangannya agar kejahatan yang dilakukan
oleh orang-orang tertentu (penjahat) dapat diberantas, sehingga ketentuan hukum
pidana dapat diterapka, dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap
masyarakat.
3. Tujuan Hukum Pidana
Untuk mengetahui apa sebenarnya tujuan dari hukum pidna atau tujuan disusunnya
hukum pidana kita, dikenal dua ajaran, yaitu :
a. De Klassike School; dan
b. De Moderne School.
ad. a. De Klassike School;
Menurut ajaran klasik, bahwa tujuan disusunnya hukum pidana adalah untuk
melindungi individu terhadap kekuasaan negara.
Disusunnya hukum pidana waktu itu dengan tujuan melindungi individu terhadap
kekuasaan negara, oleh karena keadaan pada waktu itu (abad ke -18) sampai abad
ke-19, hukum pidana sebagian besar negara tidak tertulis. Kekuasaan Raja tidak
terbatas (absolut), misalnya Raja Perancis yang berkuasa dan bertindak
sewenang-wenangnya, maka dalam prakteknya ternyata bagi penduduk tidak ada
kepastian hukum. Hakim dalam menjatuhkan hukum pidana terhadap seseorang
menurut kesadaran hukum/kemauan mereka saja,bertindk sewenang-wenang.
Pada akhir abad ke-18 terjadilah suatu peristiwa yang sangat menggemparkan
masyarakat, karena seorang kebangsaan Perancis bernama Jean Collas dituduh
membunuh anaknya sendiri, yang bernama Mauriac Antoine Collas, karena anaknya
itu mati dirumah ayahnya.
Pada saat pemeriksaan Jen Collas menyangkal keras tuduhan, bahwa ia tidak
membunuh anaknya sendiri, walaupun ia menyangkal keras, tetapi pemeriksaan saat
itu sangat kejam, agar ia mengaku, maka Jean Collas disiks agar mudah
dibuktikan dan dapat dihukum. Jean Collas tetpa menyangkal segala tuduhan
ketika diadili, karena ia tidk membunuh anaknya. Tetapi menurut hakim yang
memeriksa perkaranya menyatakan telah cukup terbukti kesalahan Jean Collas,
lalui dijatuhi hukuman mati dan dilaksanakan dengan Guillotine.
Dengan kejadian kasus tersebut, masyarakat merasa tidak puas, karena masyarakat
menganggap Jean Collas tidak bersalah.
VOLTAIRE yang mempunyai pengaruh besar saat itu, dan ia mengecam hukuman Jean
Collas dalam karangannya, karena ia yakin Jean Collas tidak bersalah, dan ia
menganjurkan agar Raja mengabulkan pemeriksaan ulang. Pada saat itu pemeriksaan
diulang kembali, untuk memberikan kepuasan terhadap masyarakat. Ternyata Hakim
yang memeriksa ulang menyatakan Mauriac Antoine Collas telah membunuh dirinya
sendiri, bukan dibunuh oleh ayahnya (Jean Collas), maka rakyat pun menjadi
gempar oleh karena Jean Collas telah menjalani hukuman mati.
Selanjutnya Markies de Becaria dan J.J. Rousseu, Montesque, menuntut agar hukum
pidana diatur dengan undang-undang, pemeriksaan terhadap tertuduh/tersangka
harus berkeperimanusiaan. Kekuasaan Raja harus dibatasi, sehingga kepentingan
perorangan (individu) dari kekuasaan negara dapat dilindungi oleh hukum.
ad. b. De Moderne School
Menurut ajaran modern (de moderne school) tujuan disusunnya hukum pidana itu
adalah untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan.
Kejahatan dianggap membahayakan dan penyakit masyarakat, karena itu tujuan
Hukum Pidana adalah ditujukan kepada melindungi kepentingan masyarakat.
Menurut alam pikiran ajaran modern kekuasaan dipegang oleh rakyat melalui
wakil-wakilnya. Pemerintah dientuk oleh rakyat sendiri dengan dibatasi oleh
UUD.
Dengan adanya hukum pidana tertulis, maka diharapkan adanya kepastian hukum,
sehingga seluruh warga masyarakat dapat terhindar dari kekuasaan yang tidak
terbatas.
Penyusunan hukum pidana saat ini dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan yang dikenal
dengan sebutan Kriminologi dan Sosiologi, yang lebih mengutamakan masyarakat
(publik) tidak mengutamakan individu.
Karena itulah tujuan hukum pidana modern adlah untuk melindungi masyarakat
terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mentaati
ketentuan hukum pidana.
D. JENIS – JENIS HUKUM PIDANA
Hukum pidana terdiri dari 2 jenis, yaitu :
1. Hukum Pidana Umum (Generale Strafrecht)
2. Hukum Pidana Khusus (Bijzondere Strafrecht)
ad. 1. Hukum Pidan Umum (Generale Strafrecht), adalah hukum pidana yang berlaku
bagi setiap orang. Ketentuan hukum pidana umum dapat kita pelajari didalam KUHP
(Wet Boek van Strafrecht).
KUHP terdiri dari 3 (tiga) buku, yaitu :
Buku I : Yang memuat ketentuan-ketentuan umum (Algemene bepalingen), dari pasal
1 sampai pasal 103 KUHP.
Buku II : Yang memuat tentang kejahatan (Misdrij ven), dari pasal 104 sampai
448 KUHP.
Buku III : Yang memuat tentang pelanggaran (Overtreidingen), dari pasal 449
samapi 569 KUHP.
Azas-azas hukum pidana termuat dalam buku I KUHP, yang berlaku bagi semua
lapangan hukum pidana positif. Pengertian-pengertian (begrippen) dan azas-azas
(beginsellen) yang termuat dalam buku I KUHP pada umumnya berlaku dn harus
digunakan dalam melaksanakan hukum pidana, baik yang termuat dlam KUHP maupun
diluar KUHP.
Adanya pembagian tindak pidana dalam kejahatan (buku II) dan pelanggaran (buku
III) menimbulkan beberapa akibat penting dalam hukum pidana, yaitu :
a. Dalam hal kejahatan harus dibuktikan adnya unsur sengaja (opzet) atau
kealpaan (Culfa), sedangkan pada pelanggaran adanya unsur sengaja atau kealpaan
tidak perlu dibuktikan.
b. Dlam Pelanggaran, mengenai percobaan (poging) dan membantu
(medeplichtigheid) melakukan tindak pidana tidak dapat dipidana, sedangkan pada
kejahatan dapat dipidana.
c. Pasal 59 KUHP dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana
terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris,
maka pengurus, angggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut
campur melakukan pelanggaran tidak dipidana. Ketentuan pasal ini hanya berlaku terhadap
pelanggaran saja tidak berlaku terhadap kejahatan.
d. Penuntutan terhadap pelanggaran jangka waktunya lebih singkat dan hak
menjalankan hukuman pun lebih cepat dari kejahatan, pengecualian berlaku
terhadap pelanggaran dan kejahatan percetakan (drukpers misdrijven).
e. Pengaduan sebagai syarat penuntutan sesuatu tindak pidana aduan (Klacht
delict). Pengaduan tersebut untuk beberapa kejahatan merupakan dasar
penuntutannya (pasal 72 sampai 75 KUHP).
ad. 2. Hukum Pidana Khusus (Bijzondere delicten)
Bijzondera delicten adalah hukum pidana yang berlaku secara khusus untuk
orang-orang tertentu, misalnya bagi anggota ABRI dn Kepolisian.
Hukum pdana khusus tersebut termuat dalam Hukum Pidana Militer (KUHPM).
Disamping berlakunya KUHPM, bagi orang-orang militer dan Kepolisian, juga hukum
pidana umum tetap berlaku bagi mereka. Apabila yang dilanggar tidak menyangkut
kepentingan militer, tetapi lebih berat pada kepentingan umum. Hal ini dapat
terjadi dalam perkara Koneksitas, dimana didalam kasus itu terlibat orang-orang
Sipil dan Oknum Militer atau oknum Kepolisian. Perbedaan antara hukum pidana
umum dengan hukum pidana militer, bahwa dalam hukum pidana militer, dimuat pula
jenis kejahatan dalam pidana umum, juga dimuat hal-hal yang khusus yang hanya
dapat dilakukan oleh orang-orang militer.
E. AZAS-AZAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
Dalam hukum pidana dikenal beberapa azas yang berlaku, yaitu azas yang diatur
secara tegas dalam KUHP dan ajaran/aliran yang tidak dirumuskan dalam KUHP,
tetapi dianggap berlaku dalam penerapan hukum pidana.
Azas dimaksud adalah :
1. Azas yang diatur dengan tegas dalam KUHP, yang meliputi :
a. Azas-azas tentang berlakunya Undang-undang Hukum Pidana menurut waktu
(Tempus Delictie).
b. Azas-azas tentang berlakunya Undang-undang Hukum Pidana menurut Tempat
(Locus delictie)
2. Ajaran/aliran yang tidak dirumuskan dalam KUHP, tetapi dianggap berlakunya
dalam hukum pidana.
ad. 1. a. Azas-azas tentang berlakunya Undang-undang hukum pidana menurut
waktu.
Azas ini diatur dalam pasal 1 KUHP :
Ayat (1) : Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.
Ayat (2) : Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan
dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentutan yang paling
menguntungkannya.
Ketentuan pasal 1 ayat (1) KUHP dalam bahasa asing disebut Nullum delictum
poena sine praven legi poenali.
Makana pasala 1 KUHP tersebut, bahwa pasal itu mengandung 3 azas, yakni :
1. Azas bahwa hukum pidana bersumber pada undang-undang atau hukum tertulis.
Berdasarkan azas ini, bahwa hukum pidana yang bersumber pada hukum taktertulis
(hukum adat) tidak berlaku.
Berarti seseorang itu hanya dapat dipidana terhadapnya, bila perbuatan itu
dilarang dandiancam dengna pidana oleh Undang-undang.
2. Azas Hukum Pidana tidak boleh berlaku surut.
Berdasarkan azas ini ketentuan-ketentuan hukum pidana yang baru dikeluarkan
oleh negara hanya dapat diperlakukan sejak saat diundangkan peraturan itu.
Artinya mulai diperlakukan pada saat diundangkan dan hari-hari berikutnya,
berlakunya kedepan, bukan kebelakang/surut.
3. Azas hukum pidana tidak boleh ditafsirkansecara analogi.
Berdasarkan azas ini, apabila ada undang-undang yang tegas melarang dan
mengancam suatu perbuatan dengan pidana, dan disamping itu ada perbuatan yang
mempunyai sipat yang sama., akan tetapi tidak dilarang dan tidak diancam dengan
pidana secara tegas, lantas Undang-undang yang mengatur dengan tegas tadi
diperlakukan. Terhadap hal yang mempunayai sifat yang sama itu. Keadaan yang
demikian tidak diperbolehkan/dilarang.
Mengenai azas bahwa hukum pidana dilarang ditafsirkan secara analogie, beberapa
ahli hukum berpedapat hal ini diperbolehkan, dengan alasan.:
a. Undang-undang tidak mungkin mengatur semua perbuatan yang dapat dipidana.
Hukum pidana itu terus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Semula
ada perbuatan yang dianggap tidak membahayakan masyarakat, kemudian karena
perkembangan masyarakat perbuatan itu dianggap patut dihukum.
Hukum Undang-undang yang mengaturnya belum ada, sehingga perlu ketentuan yang
ada itu ditafsirkan secara analogis.
b. Dikhawatirkan kepentingan hukum tidak terjamin, karena itu perlu penafsiran
analogi .
c. Dalam praktek oleh hakim-hakim, berulang-ulang dalam putusannya dilakukan
penafsiran secara analogi, hanya tidak dikatakan secara tegas. Hakim mengatakan
ia tidak menggunakan penafsiran ektensive (penafsiran undang-undang hukum
pidana secara luas.
Sebagai contoh dari perbuatan dari pebuatan hakim yang mengandung penafsiran
analogi pada tahun 1921, dalam penerapan pasal 362 KUHP (pencurian/ diefstal).
Pasal 362 KUHP merumuskan unsur-unsuruya, bahwa unsur perbuatan yang dilarang
ialah mengambil (Wegnemen)
Wegnemen ditafsirkan, ialah membawa sesuatu barang di bawah kekuasaan yang
nyata dan mutlak.
Kemudian yang dimaksud dengan barang (goed) ialah barang yang mempunyai sifat
yang dapat bergerak dan berwujud.
Ternyata dari arrest Hooge Raad pada tahun 1921, tidak saja barang yang
berwujud dapat diambil, tetapi juga aliran listrik, pada hal aliran listrik,
itu tidak mempunyai wujud. Aliran listrik ditentukan dapat dicuri, juga uap dan
gas menjadi objek pencurian.
Azas bahwa undang-undang pidana tidak berlaku surut (pasal 1 ayat (1) KUHP),
berlakunya tidak mutlak, karena terdapat pengecualian yang ditentukan oleh
pasal 1 ayat 2 KUHP, sebagai contoh A melakukan perbuatan pada tanggal 1
Desember pada saat itu berlaku suatu undang-undang yang melarang dan mengancam
perbuatan A dengan pidana. Setelah itu pada tanggal 1 Januari tahun berikutnya
diadakan perubahan undang-undang tadi, selanjutnya A diadili pada 1 Februari
setelah terjadinya perubahan undang-undang. Dalam hal ini hakim harus
mengadakan perbandingan antara undang-undang yang lama dengan undang-undang
yang baru, yang menakah diantara kedua undang-undang tersebut yang
menguntungkan A, yang lama ataukah undang-undang yang lama mengancam pidana 5
tahun, dan setelah ada undang-undang baru yang mengancam menjadi 3 tahun, maka
yang 3 tahun inilah yang diperlukan A. ini berarti Undang –undang yang baru itu
berlaku surut, karena dibuat 1 Januari, tetapi di perlakukan kepada tindak
pidana yang dialakukan pada tanggal 1 Desember.
Apa yang menjadi dasar hukum untuk memperlakukan surut bila ada perubahan
undang-undangnya.
Apakah perubahan dalam perundang-undangan hukum pidana saja atau perubahan
disemua lapangan perudangan-undangan, misalnya dilapangan hukum perdata.
Dalam hal perubahan perundangan-undangan ini dikenal beberapa pendapat :
1. SIMONS, berpendapat bahwa perubahan itu hanya di lapangan hukum pidana saja,
berdasarkan ketentuan ayat (1), dan ayat (2) pasal 1 KUHP, karena pasal
tersebut dengan tegas dinyatakan, yang dimaksud adalah perundang-undangan hukum
pidana. Simons menafsirkannya secara sistematis/logis.
2. VOS, berpendapat tidak saja perubahan di dalam perundang-undangan hukum
pidana saja, tetapi tiap-tiap perubahan perundang-undangan, misalnya perubahan
perundangan-udnangan hukum perdata juga mempengaruhi hukum pidana. VOS
manafsirkannya secara luas.
Apakah yang dimaksud dengan undang-undang mana yang lebih menguntungkan ?
Cara untuk menentukan Undang-undang yang lebih menguntungkan, maka harus
dibandingkan Undang-undang lama dengan undang-undang yang baru, antara lain :
a. Dilihat dari segi pidananya
Hasilnya seseorang memiliki senjata api tanpa izin, dulu undang-undang lama
dapat dipidana 5 tahun. Undang-undang baru mengancam pidana 20 tahun penjara,
seumur hidup atau hukuman mati. Maka dari segi pidananya undang –undang lama
yang lebih menguntungkan.
b. Perumusan Norma
Misalnya suatu perbuatan pada waktu dulu dilarang dan diancam pidana. Kemudian
diadakan perubahan, undang-undang menentukan bahwa perbuatan itu tidak lagi
dilarang dan tidak diancam dengan pidana, karena itu bukan lagi tindak pidana.
Dalam hal ini undang-undang baru yang lebih menguntungkan.
c. Kejahatan umum menjadi delict aduan (klacht delict)
Perundangan-udangan yang lama menentukan suatu perbuatan adalah suatu
kejahatan, penuntutannya tanpa pengaduan yang berhak, maka undang-undang yang
baru lebih menguntungkan sipelaku.
d. Daluwarsa (verjaring)
Hasilnya menurut undang –undang yang lama, jangka waktu verjaring dari
penuntutan atas suatu delict 5 tahun. Kemudian diubah oleh undang-undang yang
baru, jangka waktunya menjadi 3 tahun, maka undang-undang yang baru, jangka
waktunya menjadi 3 tahun, maka undang-undang yang lebih menguntungkan.
Manfaat (ratio) mengenai azas berlakunya hukum pidana menurut waktu, adalah :
1. Penting untuk mengetahui waktu terjadinya kejahatan sehubungan adanya
perubahan undang-undang, harus diperlalukan yang menguntungkan.
2. Pentingnya berhubungan dengan pasal 45 KUHP, yaitu orang yang belum dewasa,
yang melakukan kejahatan.
Ad.1.b. Azas berlakunya Undang-undang Hukum Pidana Menurut Tempat.
Kita mengenal 4 azas berlakunya Undang-undang hukum pidana menurut tempat
(locus delictie), yaitu:
1. Azas territorial (territoriallitets beginsel/ handsgebied beginsel).
2. azas aktif nasionalitas (activive Nationalistieits/ bescheremingsbeginsel).
3. Azas pasif Nasionalitas (Passieve Nationaliteits/ personaliteitlthegensel).
4. Azas Universal (Universaliteit begensel)
Ad.1. Azas Territorial
Belakunya Undang-undangan hukum pidana suatu negara menurut azas territorial,
disandarkan pada tempat dimana seseorang melakukan tindak pidana.
Apabila tempat itu adalah dalam suatu negara,maka undang-undang hukum pidana di
negara itu yang berlaku, mengenai kewarganegaraan yang melakukan tindak pidana
diabaikan.
Dasar hukumnya adalah kedaulatan negara setiap negara yang berdaulat, wajib
mempertahankan ketertiban di wilayahnya, oleh karena itu jika ada seseorang
melakukan tindak pidana di negaranya, maka orang itu melanggar ketertiban hukum
pidana wilayahnya.
Azas ini diatur dalam pasal 2 dan 3 KUHP.
Pasal 3 merupakan perluasan dari pasal 2 KUHP
Ad.2. Azas Aktif Nasionalitas
Berlakunya Undang-undanga hukum pidana menurut azas aktif nasionalitas
disandarkan atas kebangsaan dari orang yang melakukan tindak pidana. Oleh
karena itu hukum pidana negaranya yang berlaku, walaupun ia berada di luar
negeri. Mengenai tempat dari delict tidak menjadi persoalan
Dasar hukumnya adalah kedaulatan negara setiap warga negara berhak mendapat
perlindungan dari negaranya, negara mengharapkan kepada warga negaranya, baik
ia berada di luar negeri tunduk kepada undang-undang negaranya. Dalam KUHP azas
ini diatur dalam pasal 5 ayat (1), pasal 6 dan pasal 7 KUHP. Pasal 7 KUHP
merupakan perluasan dari azas aktif nasionalitas.
Ad.3. Azas Pasif Nasionalitas
Berlakunya undang-undang hukum pidana, menurut azas ini disandarkan kepada
kepentingan hukum dari suatu negara yang hukumnya dilanggar oleh seseorang,
tidak melihat apakah sipelanggar warga negara atau bukan didalam warga negar
atau diluar negeri.
Dasar hukumnya, ialah bahwa setiap negara berdaulat
Berhak melindungi kepentingan hukumnya. Azas ini diatur dalam pasal 4 sub 1 dan
sub 2 dan pasal 8 KUHP Pasal 8 adalah perluasan dari pasal 4 KUHP
Ad. 4. Azas universal (universaliteit begisel)
Berlakunya undang –undan hukum pidana, menurut azas universal di sandarkan
kepada kepentingan hukum dari seluruh dunia yang dilanggar oleh seseorang.
Dasar hukumnya disandarkan kepada suatu fictie, dianggap seolah-olah setiap
hakim negara yang bersangkutan telah mengenal suatu susunan negara-negara yang
meliputi seluruh dunia.
Oleh karena itu tiap negara yang berdaulat dianggap menjadi anggot dari Wereld
Staat, maka tiap-tiap negara berkewajiban memperlakukan hukum pidana negaranya,
karena ia wajib melindungi kepentingan hukum seluruh dunia.
Azas ini diatur pada pasal 4 sub 2 dan sub 4.
Pasal tersebut menentukan berlakunya KUHP Indonesia terhadap beberapa kejahatan
tertentu (pasal 104,106, 107, 108, 110, 111 bis pada ke I dan pasal 131 KUHP),
sekalipun berada di luar negeri.
Pasal 4 sub 2 mengatur tentang pemalsuan mata uang. Pasal 4 sub 4 mengatur
tentang kejahatan pembajakan.
Apakah ke empat azas mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat tersebut
diatas, berlaku secara mutlak?
Tidak, karena ada beberapa pengecualianyang ditentukan oleh hukum antar negara
(Volkenrecht)/
Hal ini diatur dalam pasal KUHP oleh karena itu berlakunya pasal 2,3,4,5,6,7,
dan 8 KUHP dibatasi yang merupakan pengecualian dan diakui oleh hukum
Internasional
Pengecaulian itu terhadap :
1. Kepala negara asing yang sedang mengunjungi negara Indonesia dengan
persetujuan negara.
2. pengawal dan pengikut (rombongan) kepala negara asing tersebut.
3. Duta-duta negara asing yang berada di negara Indonesia, dengan persetujuan
negara.
4. Keluarga Duta-duta, juga anggota-anggota perwakilan duta-duta itu.
5. anak buah dari Kapal Perang Asing yang dengan persetujuan pemerintah sedang
berada di wilayah Negara Indonesia.
6. Missi Militer/ Atas meliter yang berada di negara Indonesia dengan
persetujuan pemerintah.
Warga negara indonesia yang bekerja pada kedutaan asing di Indonesia, tetap
berlaku hukum pidana Indonesia. Terhadap konsul Jenderal juga tetap berlaku
hukum negaranya. Terhadap konsul Indonesia tetap berlaku hukum pidana
Indonesia, karena mereka bertugas pada bidang perdangangan.
Pekarangan, diri, rumah duta, merupakan exterritorialitet, jadi dianggap tanah
negara asing dan hukum pidana Indonesia tidak berlaku.
Ad. 2. Ajaran/Aliran yang tidak dirumuskan dalam KUHP, tetapi dianggap berlaku
dalam hukum pidana.
KUHP sendiri tidak memberikan peraturan mengenai apakah yang harus dianggap
sebagai tempat dan waktu dari suatu tindak pidana, karena itu kita harus
melihat beberapa aliran dalam ilmu pengetahuan hukum pidana.
Dalam hal ini untuk menentukan tempat terajadinya suatu tindak pidana dikenal 4
aliran, yaitu :
1. De leer van de lichmelijkedaad.
2. De leer van het instrument
3. De leer van het gevolg
4. De leer van het meervoudige plaats.
Ad. 1. De leer van de lichamelikedaad
Berdasarkan ajaran ini, yang dianggap sebagai tempat dari tindak pidana ialah
tempat dimana perbuatan itu dilakukan oleh seseorang.
Sebagai contoh A di Jakarta mengirim Paket yang berisi bahan Peledak kepada B
diBandung. Menurut De leer van delecihamelijke daad. Maka tempat tindak pidana
(kejahatan) itu adalah di Jakarta, dimana perbuatan itu dilakukan.
Ad. 2. De leer van Het Instrument
Menurut ajaran ini bahwa seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dengan
memakai alat.
Sebagai contoh A dari Bandung mengirim bingkisan sebagai kue kepada B di
Semarang. Setelah kue tadi diterima B dan lalu dimakannya, kemudian B setelah
memakan kue tersebut meninggal, karena keu tersebut di campur racun.
Menurut De leer van het instrument, walaupun A melakukan tindak pidana di
Bandung, tetapi karena A menggunakan alat, maka tempat tindak pidana itu adalah
di Semarang, yaitu tempat dimana alat yang dipakai A menimbulkan kematian B
ditemukan.
Ad. 3. De leer van Het Gevolg
Menurut ajaran ini, yang dianggap sebagai tempat dari tindak pidana, ialah
tempat dimana akibat dari tindak pidana, ialah tempat di mana akibat dari
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana itu timbul, walaupun
perbuatannya sendiri dilakukan di tempat lain.
Dalam ajaran De leer van het gevolg, terdapat perbedaan pendapat, yaitu :
a. De leer van het ommiuddelijkegevolg (akibat) menurut paham ini, tempat dari
pidana ialah tempat dimana akibat langsung menimbulkan gevolg.
Sebagai contoh A menikam B di Jakarta, B luka-luka dan kemudian ia pulang ke
Bogor. Setelah sampai di Bogor B meninggal. Menurut paham ini, maka tempat
tindak pidana adalah di Jakarta, karena perbuatan A menimbulkan akibat langsung
terhadap B (luka-luka) di Jakarta.
b. De leer van het eenvoudige plaats
Menurut ajaran ini tempat dari tindak pidana adalah di mana akibat yang
menjadikan perbuatan itu dilarang dan diancam pidana itu terjadi atau dimana
tempat akibat yang menimbulkan tindak pidana itu selesai.
Menurut paham ini, dari contoh diatas (point a), maka tempat dari pada tindak
pidana ialah Bogor, karena B meninggal di Bogor yang merupakan tempat
selesainya tindak pidana tersebut di Bogor.
Ad. 4. De leer van het meervoudige plaats
Menurut ajaran ini, tempat dari tindak pidana adalah tempat-tempat di mana
perbuatan itu dilakukan.
Sebagai contoh A menculik seseorang (B) di Jakarta, kemudian B dibawa ke Bogor,
dan terus dibawa ke Surabaya dalam keadaan terikat.
Menurut ajaran ini, maka tempat tindak pidana tersebut adalah semua tempat
yaitu Jakarta, Bogor dan Surabaya.
Cara menentukan waktu dari suatu tindak pidana dapat pula digunakan
ajaran-ajaran untuk menentukan tempat dari suatu tindak pidana sebagaimana
tersebut diatas.
Misalnya digunakan ajaran De leer van delichamelijkedaad, maka waktu dari
tindak pidana ialah waktu pidana saat mana perbuatan yagn dilarang dan diancam
pidana itu dilakukan.
Manfaat (Ratio) azas berlakunya Undang-undang hukum pidana menurut tempat,
adalah :
1. Penting untuk mengetahui dimanakah seseorang melakukan suatu tindak pidana,
karena kita ingin mengetahui undang-undang pidana manakah yang berlaku baginya,
undang-undang pidana asingkah atau undang- undang pidana Indonesia.
2. Penting diketahui, untuk menentukan kekuasaan kehakiman/ peradilan.
BAB II
TINDAK PIDANA
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN
1. Istilah Tindak Pidana
Dalam KUHP istilah tindak pidana dirumuskan dengan istilah Starfbaarfeit,
kemudian istilah tersebut disebut dengan delik (tindak pidana).
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana istilah strafbaarfeit, digunakan secara
beraga, ada yang mengunakan istilah delik. Peristiwa pidana, perbuatan pidana
dan perbuatan melawan hukum.
Didalam beberapa Undang-undang dewasa ini dipakai istilah terjemahan dari delik,
yaitu istilah tindak pidana.
Sebagai contoh telah digunakan dalam beberapa peturan hukum pidana khusus,
yaitu tindak pidana Imigrasi, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Ekonomi,
Tindak Pidana Subversi, Tindak Pidana Lalu Lintas Devisa. Tindak Pidana tentang
pencegahan penyalahgunaan dan penodaan agama, tidak pidana Suap. Tindak pidana
Perbankan, dan Tindak Pidana Komputer.
Dalam Hukum Pidana (KUHP) juga telah digunakan istilah tindak pidana.
Dalam rancangan KUHP Nasional, juga digunakan istilah tindak pidana.
Istilah strafbaarfeit itu dimaksudkan adalah baik perbuatan yang aktif, maupun
perbuatan yang pasif. Misalnya seseorang dipanggil sebagai saksi dan ia tidak
datang menghadap pada waktu yang ditentukan maka tidak datang itu merupakan
delik (pasal224 KUHP).
Ketentuan pasal 224 KUHP, adalah sebagai berikut :
“ Barangsiap dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut
undang-undang dengan sengaja tidak memenuhinya kewajiban berdasarkan
undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam :
1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
2. Dalam perkara lain lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
2. Pengertian Tindak Pidana
Menurut rumusan Prof. Simons, “ delik adalah perbuatan manusia yang
bertentangan dengan hukum, perbuatan mana dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggung jawabkan dan disalahkan kepada sipembuat”.
Delict (tindak pidana) menurut Prof. Simons tersebut syarat-syaratnya adalah :
1) Harus ada perbuatan, tentunya perbuatan manusia.
2) Perbuatan manusia itu harus bertentangan dengan hukum.
3) Perbuatan itu harus dilarang oleh undang-undang dan ancam dengan hukuman
4) Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung
jawabkan.
5) Perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada sipembuat.
Menurut Van Hamel, yang dinamakan delict adalah “perbuatan manusia yang
bertentangan dengan hukum, perbuatan mana yang dilakukan oleh seorang yang
dapat dipertanggung jawabkan dan disalahkan kepada sipembuat, perbuatan itu
harus mengandung sifat yang patut dihukum”
Jadi menurut Van Hamel ada 6 syarat apa yang dimaksud dengan delict, yaitu:
1) Harus ada perbuatan, tentunya perbuatan manusia
2) Perbuatan manusia itu harus bertentangan dengan hukum
3) Perbuatan itu harus dilarang oleh undang-undang, dan diancam dengan hukuman.
4) Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yan dapat dipertanggung
jawabkan
5) Perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada sipembuat
6) Perbuatan itu harus mengandung sifat yang patut dihukum.
Selanjutnya Mr. VOS, tidak setuju dengan rumusan yang dikemukakan oleh Prof.
Somons dan Prof. Van Hamel, karena terlalu banyak syarat-syarat baru dapat
dinamakan delik. Menurut Mr. Vos, delict itu adalah “Een Strafbaarfeit is een
door de wet strafbaargesteldfeit, yaitu apabila perbuatan itu dengan tegas
dilarang dan diancam dengan undang-undang, ini dinamakan delict/ tindak pidana.
Menurut Prof. Satochid Kertanegara, S.H. rumusan delik dari Prof. Simons,
adalah yang terbaik, karena mengandung perbuatan aktif maupun perbuatan yang pasif,
karena itu orang melakukan perbuatan yang pasifpun dapat dihukum.
Contoh perbuatan yang aktif :
1) Pasal 362 KUHP “Barangsiapa mengambil barang sesuatu, seluruhnya atau
sebahagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
2) Pasal 338 KUHP : “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
3) Pasal 351 ayat (1) KUHP: Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling
lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah”.
Ketiga ketentuan pidana tersebut diatas, manunjukkan perbuatan aktif, yaitu
melakukan pencurian, melakukan pembuhunan, dan melakukan penganiayaan.
Selanjutnya perbuatan pasif, juga merupakan delict, apabila perbuatan yang
tidak dilakukan oleh seseorang itu diwajibkan atau diharuskan orang itu untuk
berbuat. Jadi seseorang yang tidak berbuat dianggap melakukan suatu delict
apabila kepadanya dibebankan suatu kewajiban hukum kepada seseorang, dalam
hukum pidana bersumber kepada :
1. Undang-undang (Wet)
Apabila Undang-undang mengharuskan berbuat, maka undang-undang merupakan sumber
kewajiban hukum.
Sebagai contoh : orang yang dipanggil sebagai saksi oleh undang-undang
diwajibkan menghadap.
Bahwa setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi harus datang, agar dapat
didengar keterangannya. (pasal 224 KUHP).
“Barangsiapa yang mengetahui, ada mufakat jahat akan melakukan kejahatan
sebagaimana tersebut dalam pasal 104, 106,107,108, 113, 115, 124, 187,atau
pasal 187bis KUHP, sedangkan seseorang masih ada waktu untuk mencegah kejahatan
itu, dengan sengaja tidak memberi laporan yang cukup kepada pihak yang
berwenang atau kepada orang yang cukup kepada pihak yang berwenang atau kepada
orang yang terancam kejahatan itu, dihukum dengan pidana penjara paling lama
satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah, jika
kejahatan itu jadi dilaksanakan. Yang menjadi delik, ialah sengaja tidak
dilaporkan, bahwa dengan laporan itu. Kejahatan dapat dicegah (pasal 164 KUHP).
2. Jabatan (Het ambitbetrekking), pegawai negeri yang mempunyai pekerjaan
tertentu.
Sebagai contoh seorang dokter pemerintah berkewajiban untuk menyembuhkan
sisakit, ia harus melakukan perbuatan itu, yaitu dengan cara memeriksa dan
memberi obat agar sembuh. Apabila dokter itu tidak melakukan kewajibannya, dan
pasiennya meninggal, maka dokter itu dapat dihukum, karena tidak berbuat
sebagaimana kewajibannya.
Ini merupakan tindak pidana/ perbuatan pasif.
3. Perjanjian (overenkomst)
Sebagai contoh seorang dokter pertikulir/swasta, bila menerima pasien,
sebenarnya ia telah mengadakan perjanjian perburuhan, sebab pasien membayar
upah kepada dokter. Apabila dokter itu telah menerima permintaan pasien untuk
berobat, tetapi ia tidak memberi obat/membiarkan saja dikamar perawatan, hingga
mengakibatkan kematian pasien, dokter tersebut dapat dihukum, karena tidak memenuhi
kewajibannya.
B. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA (DELICT).
1. Jenis-jenis Tindak Pidana Dalam KUHP dan Menurut Doktrin.
Dalam KUHP terdapat 2 jenis delict, yaitu :
1) Misdrijven (kejahatan), buku II KUHP
2) Overtreidingen (pelanggaran) buku III KUHP
Didalam KUHP Perancis (Code Penal), dikenal 3 jenis delict, yaitu :
1) Crimes (Kejahatan)
2) Delicts (tindak Pidana )
3) Contraventions (pelanggaran)
Menurut Doktrin terdapat berbagai jenis tidak pidana (delict), yaitu :
1) Algemene delicten dan Bijzondere delicten
2) Dolus (opzet) delicten dan Culpa (Culpose) delicten
Dolus (Opzet) delicten, adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Opzet
dan culose adalah merupakan salah satu unsur dalam suatu tindak pidana.
Culpose delicten ialah perbuatan yang dilarang/ diancam dengan hukuman yang
dilakukan dengan tidak sengaja, tetapi karena kealpaan atau karena malatigheid
onachtzaamheid.
Contoh Dolus delicten terdapat pada pasal 338 KUHP, dengan sengaja melakukan
pembunuhan.
Contoh Culpose delicten terdapat pada pasal 359 KUHP, karena kelalaian
/kealpaan menyebabkan orang lain mati.
3) Commisie delicten (delicta commisiones) dan Omnissie delicten (delicta Ommis
Siones).
Commisie delicten ialah delict yang terdiri dari perbuatan yang dilakukan oleh
manusia.
Contoh pasal 362 KUHP (pencurian), yang merupakan pelanggaran terhadap suatu
larangan (verbood).
Ommissie delicten ialah dilicten yang terjadi apabila tidak berbuat, contoh
pasal 164 dan 165 KUHP (tidak melapor mengetahui ada permufakatan jahat), yang
melanggar suatu keharusan (gebood).
Diantara Commossie dan Ommissie delecten dikenal pula oneigenlijke Ommissie
delicten (delicten commissiones per ommisiones commissa).
Pada umumnya delict itu terjadi dengan tidak berbuat.
Contoh pada pasal 338 KUHP (delict pembunuhan), misalnya dengan cara menikam,
menembak, memberi racun, tetapi dapat pula dengan tidak berbuat, misalnya
seorang ibu tidak memberi anak bayinya minum susunya, siibu tidak berbuat,
sehingga anaknya meninggal, padahal kewajiban siibu memberi bayinya minum susu.
4) Formele delicten dan Materile delicten
Formale delicten ialah delict yang terdiri atas perbuatan. Undang-undang
merumuskan perbuatan apa yang dilarang/ diancam dengan hukuman.
Sebagai contoh pasal 362 KUHP (mengambil barang).
Materile delicten adalah delicten yang terdiri atas suatu akibat, sebagai
contoh akibatnya meninggal seseorang (pasal 338) KUHP), menimbulkan kebakaran
(pasal 187 KUHP), atau penganiayaan dengan sengaja (pasal 351 KUHP). Untuk
mengetahui sesuatu delict itu termasuk formale atau materile delict, tergantung
dari perumusan undang-undang. Bila perbuatannya yang dilarang termasuk formule
delicten, tetapi jika akibat yang timbul yang ditekankan adalah merupakan
delict materile.
5) Zelstandige delicten dan Voorgezette delicten.
Zelstandige delicten adalah delict yang terdiri atas satu perbuatan tertentu.
Misalnya melakukan pencurian. Voorgezette delicten adalah delict yang terdiri
atas beberapa perbuatan langjutan, misalnya mencuri uang Rp. 100.000,- tetapi
tidak dilakukan sekaligus, tetapi berkali-kali, sehingga jumlahnya Rp.
100.000,-
6) Aflpende (Ogenlijke) delicten dan Voordurende delicten.
Aflopende (ogenlijke) delicten adalah delict yang telah selesai ketika
dilakukan. Contoh pasal 286 KUHP, bersetubuh dengan orang yang pingsan/ tidak
berdaya. Voordurande delicten adalah delict yang tidak terdiri atas satu
perbuatan, tetapi terdiri atas melangsungkan atau membiarkan sesuatu keadaan
yang terlarang, walaupun keadaan itu pada mulanya ditimbulkan oleh perbuatan.
Contoh pasal 333 ayat (1) KUHP, merampas kemerdekaan atau meneruskan perampasan
kemerdekaan (menculik/ menahan) dengan senjaga dan melawan hukum.
7) Eenkelvoudige delicten dan samengestelde delicten
Eenkelvoudige delicten, yaitu pada umumnya terdiri atas suatu perbuatan (sama
dengan aflopende delicten), Samengestelde delicten, yaitu delict yang terdiri
dari atas beberapa perbuatan, misalnya menjadikan kebiasaan.
8) Eeenvoudige delicten dan Gequalifecerde delicten
Eeenvouige delicten adalah suatu delict yang mempunyai unsur pokok, misalnya
pasal 362 KUHP.
Gequalificerde delicten adalah bentuk delik yang mempunyai unsur pokok, juga
memiliki unsur yang memberatkan ancaman hukum kepadanya, yaitu delict dalam
bentuk pokok itu, misalnya pasal 362 KUHP adalah Eeenvoudige delicten, pasal 363
KUHP (diefstal vanbee) hukumannya lebih berat.
Selain Gequalificerde delicten dikenal pula Geprivilegieer delicten yaitu delik
dalam bentuk pokok ditambah dengan unsur-unsur lain yang meringankan, contohnya
kejahatan pencurian yang dilakukan oleh seseorang dengan cara didalam rumah
atau perkarangan tertutup yang ada rumah. Barang yang dicuri harganya tidak
lebih dari Rp. 250,- diancam penjara tiga bulan atau denda sebanyak Rp. 900,-
(Pasal 364 KUHP).
9) Politiche delicten dan Commune Delicten
Politiche delicten adalah delik yang terdiri atas perbuatan yang melanggar
keamanan negara, jadi terletak di lapangan politik.
Commune delicten ialah delict yang tidak ditujukan kepada keamanan negara,
misalnya terhadap harta benda (pencurian)
10) Delicta Propria dan Commune Delicten
Delicta propria (bijzondere delicten), yaitu delict yang hanya dapat dilakukan
oleh orang-orang tertentu saja, misalnya delict yang dilakukan oleh anggota
militer, seperti insubordinatie atau disertie (Militaire delicten)
Contoh lain, fiskal delicten, yaitu tindak pidana (delict) yang terdiri atas
pelanggaran terhadap peraturan pajak dan bea cukai. Hal itu dilakukan oleh
orang yang berkewajiban membayar pajak.
2. Manfaat Perincian Delict Berdasarkan KUHP dan Doktrin
Manfaat adanya jenis-jenis delik dalam KUHP, mempunyai pengaruh terhadap
doktrin dan mempunyai akibat hukum. Misdrijven ancaman pidananya lebih berat
dari pada overtreidingen.
Dolus dan Culpose delicten bermanfaat untuk memahami unsur Opzet (dolus) dan
unsur Culfa.
Zelfstandige dan Voorgezette bermanfaat untuk menentukan tempat dan waktu dari
pada delict.
Aflopende dan Voordurende delicten penting bagi bangunan hukum yang verjaring
(lewat waktu).
Politiche dan Commune delicten penting bagi bangunan uitlevering, yaitu bila
negara menyerahkan seseorang yang telah melakukan kejahatan yang merugikan
negara lain, kepada negara yang merugikan itu dengan maksud untuk diadili dan
dipidana.
Manfaat dari delicte propria dan Commune delicten berhubungan dengan kekuasaan
pengadilan, misalnya melitaire delicten, maka anggota angkatan bersenjata harus
diadili oleh Pengadilan Tentara/Militer (Mahkamah Meliter).
3. Dasar perincian misdirjven dan Overtreidingen
Perincian mengenai Misdriven dan Overtreidingen didasarkan atas penempatannya.
Semua perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang ditempatkan dalam
buku II merupakan misdrijven, sedangkan Overtreidingen diletakkan pada buku
III.Disamping KUHP, kita mengenal pula tindak pidana di luar KUHP, yang termuat
dalm undang-undang hukum pidana khusus. Dalam undang-undang hukum pidana khusus
setiap delict dinyatakan dengan tegas, apakah merupakan kejahatan atau
pelanggaran.
Sebagai dasar perbedaan antar misdrijven dengan overtreidingen, ternyata dari
M, V, T (memorie van toelichiting) bahwa membentuk KUHP, mengenai kejahatan
didasarkan atas rechtsdelicten. Rechtsdelicten adalah perbuatan-perbuatan yang
menurut sifatnya dipandang sebagai ketidak adilan (onrecht) dan karena itu
perbuatan itu harus dipidana, misalnya pembunuhan.
Overtreidingien (pelanggaran) berdasarkan wetsdelicten. Wetsdelicten adalah
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, justru perbuatan
itu dianggap bertentangan dengan hukum, karena itu mempunyai sifat yang patut
dipidana, misalnya pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan.
Menurut doktrin dasar perbedaan antara misdrijven dengan overtreidingen, yaitu
“kejahatan disebut crimineel onrecht, dan pelanggaran disebut pilitie onrect”.
Perbedaan dimaksud menurut para ahli hukum sebagai berikut :
1. Binding
Crimineel Onrecht adalah perbuatan-perbuatan yang melanggar atau membahayakan
kepentingan umum.
Politie Onrecht adalah perbuatan-perbuatan yang terdiri atas perbuatan-
perbuatan yang tidak mentaati suatu larangan.
2. Meyer
Crimineel Onrecht adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan
menurut kebudayaan (Cultuur normen). sedangkan Politie Onrecht adalah
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan negara.
3. Gewin
Crimineel Onrecht adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan (gerechtigheid)
yang ditentukan oleh Tuhan.
Politie Onrecht adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan
umum, seperti ditetapkan oleh penguasa.
4. Crutsberg
Crimineel Onrecht adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Polotie
Onrecht adalah pelanggaran terhadap larangan atau keharusan yang ditentukan
oleh negara .
Pendapat para ahli hukum diatas hanya berguna semata-mata berharga dalam
dogmatik (ilmu pengetahuan hukum pidana) karena batasan antara Crimineel
Onrecht dengan politie Onrecht tidak begitu jelas.
C. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Sifat umum dari suatu tindak pidana ialah tindakan yang dilarang dan diancam
dengan pidana itu, melanggar atau memperkosa kepentingan hukum.
Kepentingan hukum yang harus dijaga, yaitu :
1. Hak-hak (rechten)
Hak atas milik, hak milik akan benda, hak kemerdekaan pribadi
2. Keadaan (Toestanden)
Ketenteraman, ketertiban dalam masyarakat, misalnya ketenteraman dimalam hari,
waktu tidur terganggu oleh orang lain yang berteriak-teriak.
3. Hubungan hukum (Rechtsbetrekingen)
Hal ini terdiri dari, misalnya dalam hal jual beli barang atau sewa menyewa
toko, bila tidak sesuai dengan perjanjian adalah melanggar hubungan hukum.
4. Bangunan-bangunan masyarakat (Sociale instellingen)
Misalnya dalam hal perkawinan, karena masyarakat terdiri dari keluarga-keluarga
yang harus dijaga, karena itu bangunan masyarakat, seperti perkawinan itu
adalah penting/ perlu mendapat perhatian dan perlindungan hukum.
Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana (doktrin) kepentingan hukum (rechtsbelang),
terdiri atas :
a. Kepentingan perseorangan (hetbelang van individu);
b. Kepentingan masyarakat (hetbelang van de gemeinschap);
c. Kepentingan negara (het belang van de staat)
Selanjutnya paba bagian ini akan diuraikan mengenai unsur-unsur tindak pidana,
yang dirumuskan dalam ketentuan hukum pidana (KUHP).
Unsur-unsur tindak pidana, pada umumnya memiliki dua unsur yaitu :
1. Unsur objectif, yaitu unsur-unsur yang terdapat/dirumuskan dalam
undang-undang, diluar diri sipelaku, perbuatan mana merupakan perbuatan yang
dilarang.
2. Unsur Subjectif, yaitu unsur-unsur yang terdapat didalam diri manusia atau
pelaku tindak pidana yang juga dirumuskan dalam undang-undang.
Beberapa contoh mengenai unsur-unsur tindak pidana :
1. Pasal 281 KUHP, yang berbunyi : “dipidana dengan hukuman penjara paling lama
2 tahun 8 bulan atau denda Rp. 300,-
1) Barangsiapa dengan sengaja merusak kesusilaan dihadapan umum:
2) Barangsiapa dengan senjaga merusak kesusilaan dimuka orang lain, yang hadir
dengan tidak berkemauan sendiri.
Unsur objektifnya dari ketentuan pasal 281 KUHP, yaitu :
a. Perbuatan yang dilarang ialah merusak kesusilaan.
b. Ditempat umum (yang dapat dilihat oleh setiap orang)
Unsur subjektif yaitu :
Dengan sengaja, perbuatan yang dapat melanggar kesusilaan itu umumnya telanjang
dimuka umum. Dalam delik ini tidak disebutkan nama delik, tetapi yang disebut
hanya unsur-unsurnya.
2. Pasal 263 KUHP, tindak pidana pemalsuan surat.
Unsur Objektifnya :
a. Perbuatan yang dilarang membikin palsu, atau memalsukan.
b. Apa yang dipalsukan, misalnya surat.
c. Surat yang bagaimana, misalnya surat yang dapat menimbulkan :
1) pembebasan hutang
2) hak
3) ikatan
3. Pasal 187 KUHP, tindak pidana menghasut
a. Menimbulkan kebakaran, banjir, peletusan akibat perbuatannya tersebut,
perbuatannya sendiri dapat bermacam-macam.
b. Apabila timbul bahaya umum dari pada harta benda atau jiwa orang lain.
Unsur subjektifnya, yaitu dengan sengaja
Dalam KUHP ada juga pasal-pasal yang tidak mengutarakan unsur-unsurnya, tetapi
hanya menyebutkn nama delik, yaitu :
a. Pasal 351 KUHP (Penganiayaan/mishandeling);
b. Pasal 184 KUHP (perkelahian/tweevrecht).
Adapula delik yang diberi nama oleh yurisprudensi, seperti pasala 281 KUHP,
yuridisprudensi menamakan oprien (melanggar kesusilaan) pasal 167 KUHP, deliknya
dinamakan oleh Yurisprudensi, veredebreak (merusak).
D. AJARAN SEBAB AKIBAT (DE LEER DEERCAUSALITET)
Cara untuk menentukan hubungan dari sebab akibat dikenal beberapa ajaran/
aliran, yaitu :
1. De Leer van de conditio sine quanon (Von de Buri);
2. De Adequate theorie (Traiger)
a. De individualeserende theirie
b. De Greneraleserende theorie
Ad. 1. De Leer van de conditio sine quanon
Berdasarkan ajaran ini, bahwa perbuatan atau masalah harus dianggap sebagai
sebab akibat, apabila perbuatan (masalah) mana yang merupakan akibat itu.
Karena itu perlu diselidiki dulu perbuatan (masalah) mana yang merupakan
akibat. teori ini disebut juga de Voorwaarde theorie (Voorwaarde van het
gevolg).
Menurut van de Buri, bila syarat dari akibat, yakni bila perbuatan (masalah)
itu tidak dapat ditiadakan untuk menimbulkan akibat itu, maka perbuatan
(masalah) itu adalah sebab. Jadi tiap-tiap perbuatan, tiap-tiap masalah dalam
rangkaian merupakan syarat dan harus dianggap sebagai sebab, sehingga
syarat-syarat itu mempunyai nilai yang sama. Karena itu teori ini disebut De
Equivalente Theori.
Contoh Kasus
A bertengkar dengan B, sehingga A marah. Dalam pertengkaran itu A lalu menampar
B. Sesudah kena tamparan si A, karena B merasa sakit lalu ia berjalan menuju
kerumah dokter untuk berobat, ditengah jalan ia ditambrak oleh C yang
mengendarai sepeda motor sehingga B menderita luka parah, selanjutnya B
meninggal.
Dalam hal ini siapakah yang dapat dipertangungjawabkan dalam hukum pidana
terhadap matinya B. Rangkai dari perbuatan (masalah) ini kita ketahui, bahwa
yang pertama A menampar B, kemudian B berjalan menuju kerumah dokter.
Diperjalanan B ditabrak C yang mengendarai Sepeda Motor.
Ditengah jalan adalah salah satu mata rantai, kemudian sebelum meninggal B luka
kena tabrak sepeda motor C.
Apabila dianut ajaran Van De Buri. Maka perbuatan A juga menjadi sebab dari
matinya B.
Menurut Van de Buri (alam pikirannya), maka seandainya A tidak menampar B, maka
B tidak akan pergi dan membutuhkan dokter, B tidak akan luka parah karena
ditabrak sepeda motor C di tengah jalan. Dan B tidak akan meninggal.
Perbuatan A yang hanya menampar B, hanya dianggap pula sebagai penyebab matinya
B. Demikian juga perbuatan B sendiri setelah ia ditampar, ia berjalan menuju
kerumah dokter, ini juga di anggap sebagai sebab dari matinya B. Karena
andaikata ia (B) tidak bejalan menuju kerumah dokter, maka ia tidak akan
ditabrak oleh C, dan ia tidak akan luka parah, ia tidak akan meninggal. Dalam
kasus ini perbuatan B sendiri dapat dianggap sebagai sebab. Perbuatan C yang
menimbulkan luka parah terhadap B, juga adalah sebab dari matinya B.
Dari kasus B ini terlihat bahwa dalam hal pertanggungjawaban pidananya adalah
merupakan pertanggungjawaban pidana yang diperluas, A, B, dan C semuanya
merupakan sebab yang menimbulkan akibat (matinya B), dan semuanya harus
dipertanggung jawabkan atas akibat yang timbul.
Ad.2. De Adequate Theori (traiger)
Adequate artinya seimbang. Dari rangkaian perbuatan dalam kasus di atas, dicari
yang manakah yang seimbang dengan akibat yang ditimbulkan.
Untuk menentukan perbuatan mana yang seimbang, kita mengenal dua cara untuk
menentukan perbuatan (masalah) yang manakah yang seimbang dengan akibat yang
ditimbulkan. Cara menentukannya sebagai berikut :
a. De Individuale serende Theori
Teori ini memakai ukuran dengan mengambil sandarannya, apabila akibat yang
dilarang dan diancam dengan pidana dengan undang-undang itu telah timbul, maka
dicarilah hubunganya dengan salah satu dari perbuatan secara kongkrit dilihat
dulu bila akibatnya telah timbul.
Dari contoh kasus diatas tadi, dicari hunbungannya sesudah B meninggal.
Dalam rangkaian perbuatan (masalah) dicari/ditentukan :
1) Perbuatan A kah yang menampar B
2) Perbuatan B sendirikah yang berjalan menuju rumah dokter
3) Atau perbuatan C yang menabrak B
4) Atau keadan B yang luka parah
Bila kita perhatikan dalam kasus ini yang seimbang dengan akibat, yakni matinya
B, diantara keempat perubatan (masalah) tersebut dipilih salah satu rangkaian
yang dianggap pokok. Perbuatan A menampar B tidak seimbang dengan kamatian B.
perubatan B sendiri yang berjalan menuju kerumah dokter, tidak seimbang, tidak
akan menimbulkan kematian B. perbuatan C yang menabrak B dengan sepeda motorlah
yang seimbang dengan kematian B. oleh karena itu yang harus dipertanggung
jawabkan terhadap matinya B dan C.
Pengikut acaran Individuale serende, antara lain :
1. Berck Meyer
Theori Meisk Wirksame Beding Ungen
Dari rangkaian perbuatan-perbuatan atau masalah-masalah itu, yang manakah yang
mempunyai pengaruh yang terbesar, untuk menimbulkan akibat.
Dari contoh yang telah dikemukan diatas, perbuatan C lah yang mempunyai
pengaruh terbesar terhadap timbulnya akibat matinya B.
2. Binding
Theori van de gliech gewicth
Binding mempertimbangkan perbuatan atau masalah yang dianggap sebagai sebab
adalah perbuatan yang mendorong kearah timbulnya akibat, jika dibandingkan
dengan perbuatan/masalah yang mencegah.
3. Kohler
Theorie van die art Des Merdene
Kohler membandingkan yang manakah, sifatnya yang menjadi sebab dari akibat.
b. Generaleserende Theori
Berdasarkan teori ini cara menentukan sebab dari akibat yang timbul adalah
memilih perbuatan atau masalah apakah yang menurut perhitungan yang layak atau
pengalaman manusia, maka menampar itu tidak akan menimbulkan matinya B. apakah
perbuatan B yang berjalan menuju kerumah dokter itu akan menimbulkan kematian
B, tentunya tidak mungkin. C menambrak B dengan sepeda motor itu, memang
menurut pengalaman manusia dapat menimbulkan kematian B.
1. Von Kriss
Die subyective Diagnose
Menurut Van Kriss, perhitungan yang layak ialah masalah-masalah yang diketahui
oleh sipembuat, sebagai contoh :
A bertengkar dengan B, lalu, A memukul B dengan tinju. Setelah ditinju A, si B
lalu meninggal.
Apakah masalah-masalah yang meliputi akibat itu? B. menderita penyakit malaria
dan mulutnya bengkak. Jika dipukul mulut itu akan pecah. Lalu mengakibatkan
mati B. Andaikata B sehat, ia tidak akan mati ditinju A. Tetapi karena pada
saat itu ia menderita penyakit malaria dan mulutnya bengkak, sehingga ia mati.
Oleh karena itu untuk menentukan, apakah tinju A menurut perhitungan yang layak
seimbang dengan akibat, yaitu matinya B, apakah A tahu, bahwa B menderita
penyakit malaria dengan mulut bengkak. Jika si A tidak tahu, maka tinju A itu
bukan sebab matinya B.
2. Bumelin
Die objektive Nach Tragische Propose.
Menurut Bumelin, untuk menentukan sebab menurut perhitungan yang layak, adalah
dengan memakai sasaran hal-hal yang harus diketahui oleh sipembuat dan masalah
yang meliputi yang diketahui dikemudian hari.
Dengan contoh diatas, kemudian baru diketahui bahwa B menderita penyakit
malaria, hal ini harus diperhitungkan. Antara pendapat Von Kriss dan Bumelin
terdapat pendirian Simons. Simons berpendapat bahwa tidak saja penting masalah
yang diketahui atau harus diketahui sipembuat, tetapi masalah yang pada umumnya
diketahui adanya, yang meliputi akibat itu. Masalah yang dipakai sebagai
sandaran/dasar adalah :
a. pembuat sendiri
b. harus diketahui
c. harus diketahui oleh setiap orang
KUHP menganut teori Causaliteit yang mana ?
Ternyata pembentuk KUHP tidak memilih salah satu ajaran (teori) di atas.
Bagaimana pula pendapat Yurisprudensi mengenai Causaliteileer itu ?
Untuk ini perlu diselidiki Arrest dari Hoogeraad. Ternyata dalam beberapa
keputusan pendirian Hoogeraad selalu berubah, dan tidak tetap.
a. Pada tahun 1911, Hoogeraad menyerahkan kepada hakim sendiri, aliran yang
mana yang akan dianut, oleh karena KUHP tidak menganut salah satu dari aliran
causaliteit.
b. Dua puluh delapan tahun kemudian(1939) dikenal beberapa Arrestten dari
Hoogeraad, menganut aliran pemikiran/ pendirian Van Burri.
c. Kemudian Hoogeraad menganut ajaran De Adequate theori.
E. SIFAT MELAWAN HUKUM (WEDERRECHTTELIJKHEID)
Untuk dapat mempermasalahkan seseorang yang melakukan suatu delict, adalah
apabila seseorang itu mempunyai schuld (kesalahan) dan juga harus memenuhi
syarat-syarat yang disebut delict itu sendiri. Jadi seseorang itu dapat
dipidana apabila melakukan perbuatan melawan hukum (wederrechttelijkheid),
memenuhi unsur-unsur delict yang dilanggar dan ternyata orang itu dapat
dipertanggung jawabkan menurut ketentuan hukum pidana.
Dalam hukum pidana terdapat beberapa faham, apakah wederrechttelijkheid harus
dianggap sebagai unsur dari setiap delict, atau tidak.
Simons, yang menyatakan walaupun wederrechttelijkhied itu pada hakekatnya telah
tersimpul dalam tiap-tiap delict, namun tidak dapat dianggap sebagai unsur yang
positif. Oleh karena itu Wederrechttelijkhied bukan merupakan unsur dari pada
delict. Kecuali dinyatakan secara tega. Alasannya berdasarkan suatu adigium”
Eeen is der wordt geacht de wet te keunen”. Berdasarkan azas ini maka apabila
seseorang melakukan suatu perbuatan yang diralang dan diancam dengan pidana
oleh undang-undang, ia harus tahu, bahwa perbuatannya dilarang.
Simons menafsirkan sifat wederrechttelijkheid sebagai formale
wederrechtelijkheid.
Selanjutnya menurut paham Zevenbergen, sifat dari Wederrechtelijkheid adalah
unsur dari pada tiap-tiap delicth yang setiap kalinya harus dibuktikan. Untuk
mempertahankan ajarannya ia mengemukakan alasan, bahwa delict itu tidak hanya
terdiri atas perbuatan yang terlarang, tetapi delict itu juga harus dapat
dipersalahkan terhadap sipembuat. Pengertian dari delict tidak saja menurut
wederrechtelijkheid, tetapi juga schuld.
Dengan menghubungakan wederrechtelijkehid dengan schuld, maka menurut
zevenbergen schuld berarti bahwa perbuatan seseorang itu dapat dipersalahkan
kepada sipembuat dan schuld ini mengandung arti verwijtbaarheid. Oleh karena
itu untuk mempersalahkan seseorang, perbuatan yang dilakukan itu harus merupakan
perbuatan yang terlarang, sebab perbuatan yang diperkenankan tidak dapat
dipersalahkan kepada sipembuat.
Zevenbergen menafsirkan wederrechtelijkheid sebagai materiele
wederrechtlijkheid.
Formale wederrechtelijkehid, sesuatu perbuatan adalah wederrechteljkheid,
karena dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.
Materiele wederrechtelijkehid, sesuatu perbuatan mungkin wederrechtelijkehid
walaupun tidak tegas dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.
Bila dalam perumusan delict oleh undang-undang, bahwa wederrechtelijkheid itu
bukanlah merupakan unsur. Jadi tidaklah perlu dibuktikan bahwa perbuatan itu
bertentangan dengan hukum.
Alam pikiran Simons bahwa :
1. Bila perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,
maka dengan sendirinya perbuatan itu bersifat wederrechtelijkheid, karena
wederrechtelijkheid itu ialah bertentangan dengan hukum pada umumnya. Jadi
tidak usah dibuktikan perbuatan itu adalah wederrechtelijkheid
2. Selain itu dikenal suatu adagium “ichderren wordt geacht de wet te keneen”,
maka kalau ia berbuat ia tentu mengetahui bahwa perbuatannya itu bertentangan
dengan hukum, karena itu tidak perlu dibuktikan.
Walaupun dalam suatu perumusan delict tidak dinyatakan dengan tegas, bahwa
wederrechtelijkheid sebagai unsur, tetapi wederrechtelijkheid itu harus
dianggap sebagai unsur, karena itu harus dibuktikan bahwa perbuatan itu
bertentangan dengan hukum. Penganut ajaran ini adalah Van Hamel dan
Zevenbergen. Mereka mengartikan wederrechtelijkheid itu sebagai materialee
wederrechtelijkheid. Artinya seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana oleh undang-undang agar dapat dihukum, harus
dibuktikan bahwa perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang dan bertentangan dengan paham kemasyarakatan. Apabila menurut
paham kemasyarakatan perbuatan itu diaggap tidak bertentangan dengan paham
kemasyarakatan, maka sipembuatnya tidak boleh dihukum.
Sebagai contoh : di Daerah pedalaman Irian Jaya, berpakaian tidak lengkap laki-laku
maupun perempuan tidak merupakan perbuatan yang tidak sopan atau bukan
perbuatan melawan hukum, karena itu hal yang demikian berdasarkan paham
masyarakat di sana perbuatan tersebut tidak dapat dipidana.
BAB III
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA
A. PENGERTIAN
Pertanggungan jawaban pidana, berarti apabila seseorang melakukan suatu tindak
pidana, apakah itu merupakan suatu tindak pidana berbuat, yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh, atau suatu tindak pidana tidak dengan berbuat, tetapi
seseorang telah melanggar kewajibannya berdasarkan ketentuan hukum pidana.
Seseorang yang telah melakukan tindak pidana tersebut harus mempertanggung
jawabkan perbuatannya itu. Orang tersebut dianggap mempunyai kesalahan (Schuld)
dalam hukum pidana, dan dapat dipidana sebagai pertanggungan jawab pidana.
Sebagai contoh : Seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana pembunuhan,
diancam pidana 15 tahun penjara, karena ternyata telah melanggar ketentuan
pidana yang terdapat pada pasal 338 KUHP.
Pasal 338 KUHP, menegaskan bahwa : “Barang siapa dengan sengaja merampas jiwa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15
tahun”.
Contoh lain : Apabila seseorang dipanggil sebagai saksi dengan sengaja tidak
datang/tidak memenuhi kewajiban, dapat dipidana. Hal ini didasarkan pelanggaran
pasal 224 KUHP : “Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa
menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan
undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam :
1. Dalam perkara pidana, dengan penjara paling lama 9 bulan;
2. Dalam perkara lain, dengan pidana paling lama 6 bulan.
Dengan demikian apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap ketentuan hukum
pidana, maka orang yang melanggar tersebut harus mempertanggung jawabkan
perbuatannya itu.
Dalam hal-hal tertentu orang yang dianggap telah melakukan tindak pidana tidak
dapat dipidana. Hal ini merupakan pengecualian, dan diatur tersendiri di dalam
KUHP, seperti keadaan terpaksa, pembelaan, menjalankan perintah jabatan, dan
menjalankan undang-undang. Karena itu pada prinsifnya, apabila terjadi suatu
tindak pidana oleh siapa saja, harus bertanggung jawab atas tindakannya itu.
B. KESENGAJAAN DAN KEALFAAN
Dalam hal pertanggungan jawab pidana, karena kesalahan (Schuld) seseorang dalam
hukum pidana dikenal dengan istilah Opzet (kesengajaan) dn Culfa (kelalaian).
1. Kesengajaan (Opzet, Dolus)
Opzet merupakan salah satu unsur dari tindak pidana (delict). Dalam doktrin
inti dari opzet adalah kehendak seseorang (de will). Kehendak (de will) iotu
pertama ditujukan kepada perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, yang disebut
Formil Opzet.
Kedua ditujukan kepada akibat, yang disebut materil Opzet.
Berdasrakan memorie van toelichting (penjelasan KUHP) kehendak itu digunakan
istilah Wilelens en Wetens. Maksudnya bahwa seseorang melakukan perbuatn yang
tertentu tidak hanya menghendakai perbuatannya, juga harus menginsyafi apa yang
diperbuatnya. Karena itu ia harus insyaf bahwa apa yang dampat ditimbulkan dari
perbuatannya.
Ada 2 teori mengenai Opzet (kesengajaan), yaitu :
a. De wills theori ;
b. De voorstelling theorie
ad. a. De wills theorie (teori kehendak)
Menurut teori ini, apabila seorang melakukan perbuatan tertentu, tentu ia
melakukannya dengan maksud untuk menimbulkan akibat tertentu, karena jika ia
tidak mengkehendaki demikian, maka dengan sendirinya dia tidak akan berbuat.
Oleh karena itu ia melakukan perbuatan itu, justru ia hendak menimbulkan maksud
tertentu dapat dipertanggung jawabkan dalam hukum pidana.
ad. b. De voortelling theori (teori harapan / membayangkan)
Menurut teori ini, perbuatan memang dikehendaki, tetapi akibatnya tidak dapat
dikatakan dikehendaki oleh sipembuat. Akibat itu hanya dapat
diharapkan/dibayangkan akan timbul.
Antara wills theori dan de voorstelling theori tidak terdapat perbedaan yang
prinsipill, hanya terdapat perbedaan dalam cara merumuskan dalam alam
pikiran/konsep.
Kehendak seseorang untuk mencapai tujuan disebut Oogmerk. Adanya opzet karena
adanya dorongan (motif) keinginan (opzet) dn tujuan (Oogmerk).
Menurut doktrin terdapat beberapa bentuk (gradaties), dengan perincian sebagai
berikut :
1) Opzet als Oogmerk.
2) Opzet Bijzakerheidbewustzijn of Bijnoodsakelijkheid Bewustzijn.
3) Opzet Bijmugelijkheid/Bolus Oventualis/Voorwaardelijk opzet.
ad. 1. Opzet Als Oogmerk (tujuan)
Seseorang melakukan perbuatn tertentu dengan sengaja, dengan maksud untuk
menimbulkan akibat tertentu. Terhadap akibat yang timbul itu, sipembuat
mempunyai opzet als oogmerk, misalnya A melepaskan tembakan dengan tujuan
tertentu, yaitu untuk menimbulkan kematian orang lain.
ad. 2. Opzet Bijzakerheidbewustzijn (pasti)
Seseorang melakukan perbuatan dengan maksud untuk menimbulakan suatu akibat
tertentu, tetapi disamping itu ia insyaf bahwa pasti ia menimbulkan akibat yang
lain pula, yang tidak dikehendakinya. Terhadap akibat ini ia mempunyai Opzet
Bijzakerheidsbewustzijn.
Sebagai contoh A mempunyai kehendak untuk membunuh B dengan melepaskan
tembakan. A itu adalah opzet als oogmerk. Tetapi B duduk di balik kaca, A
memahami bahwa untuk membunuh B, peluru yang dilepaskan itu pasti menembus
kaca.
Terhadap perbuatn memecahkan kaca itu, maka A mempunyai opzet
bijzakerheidbewustzijn. Sedangkan terhadap matinya B, ia mempunyai opzet
oogmerk. Dalam hal ini melakukan dua jenis kejahatan sekaligus.
ad. 3. Opzet Bijmegelijkheid Bewustzijn (mungkin)
Seseorang melakukan suatu tindak perbuatn dengn maksud untuk melakukan suatu
akibat tertentu, akan tetapi disamping itu ia insyaf, bahwa ia mungkin akan
mengakibatkan suatu tindak pidana lain atau mungkin ia kan menimbulkan suatu
akibat yang lain yang tidak dikehendainya.
Sebagai contoh : A mempunyai kehendak untuk membunuh B dengan membawa senjata
api, ketika ia datang ketempat B, B berada diteras rumahnya dan disekitar B ada
beberapa anak-anak yang sedang bermain. Didorong maksud untuk membunuh B, A
melepaskan tembakan kearah B, sedangkan A insyaf bahwa karena adanya anak-anak
dsekitar B, mungkin peluru yang dilepas A akan mengenai anak-anak B, walaupun A
insyaf atas kemungkinan itu, tetapi A melakukannya. Sesudah melepaskan tembakan
ternyata bahwa tembakan tidak mengenai B, melainkan mengenai anakya. Terhadap
matinya anak B, mak A mempunyai Opzet bijmogelijkheids bewustzijn.
Dalam hukum pidana mengenai pengertian Opzet, selain bentuknya, dikenal pula :
1. Dolus generalis (Algemene opzet) ;
2. Dolus Determinatis;
3. Dolus Indirective.
ad. 1. Dolus Generalis
Seorang mempunyai maksud untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, tetapi ia
tidak mempunyai tujuan tertentu. Sebagai contoh A bermaksud untuk melakukan
pembunuhan, hanya semata-mata membunuh saja. Ia tidak punya tujuan tertentu.
Hal ini sebenarnya tidak mungkin.
ad. 2. Dolus Determinatis
Bahwa opzet ini tidak ditujukan kepada tujuan tertentu. Sebagai contoh misalnya
A melemparkan granat di tempat keramaian. Ia tidak mempunyai maksud membunuh si
A atau B, tetapi siapa saja yang berada disana. Maksudnya adalah untuk
menimbulkan matinya orang-orang yang berada di situ.
ad. 3. Dolus Indirectus
A bermaksud membunuh B tetapi secara tidak langsung, yang terkena sasaran
tembakan A adalah C. Terhadap matinya C tidak dimaksudkan oleh A, karena ia
tidak dapat dipertanggung jawabkan terhadap matinya C. Teori ini tidak dianut,
karena akan membahayakan / menyulitkan dalam prkatek.
Dasar hukum dari kesengajaan opzet (dolus) ialah bahwa justru karena sipembuat
menghendaki perbuatannya, maka didasarkn atas tata susila, ia harus
dipertanggung jawabkanterhadap perbuatannya.
2. Kelalaian (Culfa)
KUHP tidak merumuskan secara tegas apa yang dimaksud dengan kelalaian (culfa),
karena itu kita harus menemukan dalam doktrin (ilmu pengetahuan) hukum pidana.
Berdasarkan doktrin inti dari culfa itu terdiri dari 2 syarat :
a. Seseorang dikatakan lalai, harus dapat dikatakan bahwa orang itu kurang
hati-hati dalam melakukan perbuatannya.
b. Akibat yang dituju oleh perbuatn seseorang itu yang dilarang dan diancam
dengan pidana itu harus dibayangkan oleh sipembuat. Apabila tidak dapat
dibayangkan, maka orang itu tidak dapat dikatakan lalai.
Dasar hukum dari Culfa, ialah perlindungan masyarakat, yaitu tiap anggota
masyarakat harus dapat diharapkan, bahwa dalam perbuatannya atau tindakannya,
ia berusaha sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan kerugian sesama manusia.
Berdasarkan m.v.t. (memorie van toelichting) dari KUHP Culfa adalah kekurangan
pengetahuan dan kekurangan kebijaksanaan. Artinya seseorang tidak
mempergunakannya atau ia kurang kebijaksanaan.
Sebagai contoh A membersihkan senjata api. Sebelum membersihkan senjata itu, ia
seharusnya memeriksa senjata api itu terlebih dahulu, apakah senjata itu sedang
berisi peluru atau kosong. Apabila ia tidak memeriksanya, ketika ia
membersihkan senjata itu meletus dan mengenai seseorang yang kebetulan berada
disekitarnya.
Dalam contoh ini A dikatakan lalai / kurang hati-hati dan A dapat dipertanggun
jawabkan.
Dalam doktrin, dikenal beberapa jenis culfa, yaitu sebagai berikut :
1. Culfa Lata (kelalaian berat)
Untuk mengukurnya / menilainya dipakai perbandingan dengn orang yang setingkat
dengan golongannya.
2. Culfa Levis (kelalaian ringan)
Untuk mengukurnya / menilainya dipakai perbandingan dengan orang yang terpandai
dari golongan sipembuat.
3. Bewuste Schuld
Pembuat telah dapat membayangkan akibat yang dilarang karena itu ia berusaha
menghalang-halangi akibat itu, walaupun ia telah berusaha, akan tetapi
akibatnya timbul juga.
4. Onbewuste Schuld
Seseorang melakukan perbuatan dan ia tidak membayangkan / memperhitungkan
akibat yang akan timbul, padahal seharusnya ia memperhitungkannya dan
membayangkannya.
Apabila dalam delict tidak dinyatakan bahwa opzet atau culfa itu adalah sebgai
unsur, tetapi seseorang itu dapat dipidana, karena perbuatannya maka tidak
perlu dibuktikan adanya opzet atau culfa. Hal ini disebut “De leer van het
materiele feit”.
Seajak tahun 1919 ajaran ini telah ditinggalkan, karena dengan adanya Arrest
Hoogeraad yang terkenal : “Melboer Arrest”. Dalam Arrest itu ditetapkan bahwa
unsur Schuld (kesalahan) itu diperlukan.
C. AJARAN TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN (AZAS GEENSTRAFZONDER SCHULD)
Kesalahan (schuld) dalam hukum pidana mengandung pengertian bahwa seseorang itu
dapat dipertanggung jawabkan, terhadap perbuatnnya.
Menurut Schuld Leer, kesalahan itu dapat dilihat dari segi :
1. Schuld in Sosiale ethischezijn
2. Schuld in Strafrechtelijkezijn
ad. 1. Schuld in siciale ethischezijn.
Schuld in Sociale ethischezijn ialah hubungan jiwa antara seseorang yang
melakukan perbuatan yang sedemikian rupa sehingga perbuatannya itu dapat
dipersalahakan kepada sipembuatnya.
Pada umunya keadaan jiwa sipembuat itu dapat dipersalahkan ialah apabila jiwa
seseorang itu adalah sehat.
Seseorang dapat dikatakan mempunyai jiwa yang sehat, apabila memenuhi
syarat-syarat tertentu.
Prof. Van Hamel menetapkan 3 syarat, yaitu :
1. Seseorang itu dapat dipersalahkan terhadap perbuatannya, apabila keadaan
sipembuat adalah sedemikian rupa, sehingga pertama-tama ia dapat memahami harga
dari perbuatannya, dapat menilai perbuatannya, dan dapat mengerti akibat-akibat
dari perbuatannya.
2. Apabila ia dapat pula memahami bahwa perbuatannya itu menurut paham
masyarakat adlah perbuatan yang dilarang.
3. Orang itu harus dapat menentukan kehendaknya terhadp perbuatnnya.
Prof. Simons, menetapkan 2 syarat, yaitu :
1. Jika seseorang dapat menginsyafi, bahwa perbuatnnya itu adalah perbuatan
yang dilarang.
2. Ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya.
Menurut memorie van toelichting KUHP, seseorang itu tidak dapat
dipersalahkan apabila :
1. Seseorang itu tidak bebas menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya.
2. Seseorang itu tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya sedemikian itu
adalah perbuatan yang terlarang.
Sebagai contoh : Orang yang tidak bebas menentukan kehendaknya, ialah seseorang
yang dipaksa oleh orang lain untuk melakukan perbuatan yang terlarang.
Seseorang yang dikatakan tidak menginsyafi, bahwa perbuatannya itu adalah
perbuatan terlarang, yaitu apabila seseorang yang melakukan perbuatan dalam
keadaan tidak sadar, misalnya orang yang sedang emosional/sangat marah
sedemikian rupa sehingga ia tidak menginsyafi apa yang diperbuatnya.
ad. 2. Schuld in Strafrechtelijkezijn (kesalahan dalam hukum)
Penjelasannya sama dengan bagian B, dlam hal Kesengajaan dan kealpaan (hal 47 –
52 ).
Berdasarkan uraian diatas, yaitu ajaran mengenai kesalahan (Schuld leer), maka
azas geenstrafzonder Schuld, adalah suatu azas bahwa seseorang tidak dapat
dipidana, apabila ia tidak mempunyai kesalahan. Apabila seseorang tidk
mempunyai schuld, maka ia tidak dapat dipidana.
Sandaran azas geenstrafzonder schuld adalah bahwa seseorang itu tidak mempunyai
schuld, yang menjadi dasar untuk meniadakan kesalahannya, misalnya karena
Overmacht (keadaan terpaksa). Selain itu juga sebagai sandarannya adalah
wederrechtelijkheid (perbuatan melawan hukum). Dalam hal ini walaupun
undang-undang secara tegas mengatur suatu perbuatan itu diperkenankan /
dibenarkan, maka seseorang itu tidk dapat dihukum. Misalnya seseorang yang
menjalankan perintah jabatan dalam keadaan membela diri (noodwer), karena
keadaan jiwanya terancam, ia lalu melakukan pembelaan dengn menyerang lawannya,
sehingga lawnnya tersebut terluka parah dan akhirnya meninggal. Petugas yang
bersangkutan tidak dapat dihukum karena dianggap tidak bersalah.
D. KEMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB
Dalam hukum pidana seseorang baru dapat dipertanggung jawabkan atas
perbuatannya, apabila orang tersebut mempunyai schuld (kesalahan) dan mempunyai
jiwa yang sehat dan mempunyai kesadaran jiwa atas perbuatannya itu.
Keadaan jiwa seseorang yang sedemikian rupa, sehingga ia dapat memahami akibat
dari perbuatannya, dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu adalah terlarang,
dapat menentukan kehendaknya dengan bebas akan perbuatannya.
Menurut doktrin orang yang tidak dpat dipidana atau tidak mampu bertanggung
jawab, untuk menentukan hal itu dengan cara :
1. Beologische methode
Dengan mengambil sebab keadaan jiwa yang sakit, orang yang melakukan suatu
tindak pidana tidak dapat dipidana karena keadaan jiwanya yang sakit.
2. De Psychologische methode
Cara menentukanya ialah dengn menunjukkan hubungan antara jiwa seseorang dengan
orangnya. Orang itu tidak dapat dipidana, apabila ia tidak dapat memahami bahwa
perbuatannya itu dilarang.
Berdasrkan pasal 44 KUHP ada 2 hal yang dapat menjadi dasar untuk menentukan
seseorang tidak dapat dipertanggung jawabkan atau tidak dapat dihukum ialah :
1. Bila keadaan jiwa seseorang diganggu oleh suatu penyakit.
2. Bila jiwa seseorang tidak tumbuh dengan sempurna dan perbuatan itu tidak
dapat dipertanggung jawabkan kepadanya.
Seorang yang kemampuan untuk berpikirnya adalah sehat tetapi keadaan jiwa orang
itu tidak dapat memahami apakah perbuatan itu dilarang atau tidak, keadaan ini
disebut Insania morales.
Seseorang yang melakukan tindak pidana, tetapi dalam kenyataannya mungkin orang
itu mempunyai jiwa yang sehat, terbukti kesehatannya (jiwa) berkurang, karena
itu ia tidak dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya, tetapi dikurangi, keadaan
ini dinamakan “Vermindende Toerelekeningsvaatbaarheid”.
Di negeri Belanda dinamakan Psychopathen, yaitu orang yang rasa pertanggung
jawabkannya agak berkurang, karena itu pula di negeri Belanda dikeluarkan
psychopathen Wet.
Apabila terhadap perbuatan tertentu, seseorang jiwanya sebahagian dihinggapi
penyakit disebut sedeetelijke Toerelekeningsvaatbaarheid atau Monomanen.
Bentuk-bentuk monomanen (sebagian jiwanya sehat, sebagian sakit) :
1. Keptomanie
Seorang keeptomanie gemar terhadap perbuatan tertentu, tetapi ia tidak sadar
akan perbuatannya itu. Misalnya ia suka mengambil barang tertentu, seperti
sendok atau garpu, dimana saja ia berada, padahal ia seorang yang mampu/kaya.
Kalau ditanyakan kepadanya mengapa barang itu diambil, ia tidak sadar.
2. Pyromania
Seorang pyroman gemar membakar sesuatu, ketika melakukan perbuatan itu ia tidak
sadar membakar sesuatu itu, ia tidak sadar.
3. Mymphomanie
Seorang mymphoman ialah seorang laki-laki yang suka melakukan perbuatan yang
tidak senonoh dengn perempuan.
Seseorang yang membuat dirinya kedalam keadaan tidak sadar untuk melakukan
tindak pidana disebut “Actio Lebra in Causa”.
Sebagai contoh A bermusuhan/menaruh dendam terhadap B, lalu A minum-minuman
keras, sehingga ia mabuk dan berani. Kemudian ia memukul B, dalam hal ini A
dapat dipertanggung jawabkan, karena dalam mabuk itu ia dapat menentukan
kehendaknya terhadap B.
Orang yang melakukan tindak pidana tetapi ia belum dewasa menurut pasal 45
KUHP, apabila usianya belum mencapai 16 tahun melakukan tindak pidana, kepada
Hakim diberikan tiga kemungkinan, yaitu :
1. Menjatuhkan pidana;
2. Memutuskan agar anak itu dikembalikan kepada orang tua / walinya /
perawatnya. Jadi tidak dijatuhi pidana.
3. Menetapkan bahwa anak itu akan diserahkan kepada Pemerintah.
E. KEKELIRUAN/KESALAH PAHAMAN (DWALING/ERROR)
Dwaling adalah kesalah pahaman, yang terdiri atas :
1. Kesalah pahaman yang sebenarnya (Fetelijke dwaling), yaitu kesalah pahaman
salah satu unsur dari delict.
Misalnya A melihat suatu barang yang ingin dimilikinya. Ia kira bahwa barang
itu milik orang lain, lalu barang itu diambilnya. A beranggapan ia mencuri
barang itu, tetapi ternyata kemudian, bahwa barang itu memang akan dihadiahkan
kepada oleh si B. Jadi barang itu milik A. Dalam hal ini, maka barang orang
lain tidak terpenuhi, tetapi A mengambil barangnya sendiri, sebelum diberikan
oleh B kepadanya sebagai hadiah.
2. Kesalah pahaman dibidang hukum (Rechtdwaling)
Misalnya A melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang. Tetapi A tidak mengetahui bahwa perbuatan itu merupakan
perbuatan yang terlarang. Dalam hal ini berdasarkan Fictie maka A tetapdapat
pidana.
Dalam bahasa Romawi, dwaling disebut error.
Error (dwaling) dapat berupa :
1. Error in Objecto, yaitu mengenai barang / objek yang menjadi tujuan
perbuatan yang terlarang.
Sebagai contoh A bermaksud membunuh B secara terang-terangan, akan tetapi A
tidak berani, sehingga ia mengintai B kapan ia pulang kerumahnya. Kemudian A
mengethui bahwa hampir tiap malam B pulang pada malam hari pukul 21.00 wib.
Setelah itu A pada malam berikutnya bersembunyi dekat rumah B, tepat pukul
21.00 WIB, A mendengar ada orang datang, dikira A adalah B. Lalu ia keluar dan
melakukan pembunuhan terhadap orang itu. Tetapi ternyata orang yang dibunuh A
bukanlah B, melainkan C yang bukan objek sasaran A.
Apabila B yang terbunuh A diancam dengan pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP).
Karena yang terbunuh C, maka A dapat dipidana berdasarkan 338 KUHP (pembunuhan)
biasa. Kasus A ini merupakan Error in Obejcto. A tidak dapat dipidana.
2. Error In Persona
Adalah kekeliruan mengenai orang (persoon), yang menjadi tujuan perbuatan
terlarang.
Sebagai contoh A bermaksud membunuh seorang pejabat. Kemudian ia melaksanakan
niatnya, tetapi yang tertembak bukanlah pejabat itu. Dalam hal ini A tidak
dapat dipidana berdasarkan ketentuan pasal 349 KUHP, tetapi dapat dipidana
berdasarkan ketentuan pasal 338 KUHP.
Dalam contoh diatas, bahwa telah terjadi Error in persona, namun terhadap
pelakunya, walaupun orang yang menjadi tujuan/sasaran keliru, tetap dapat
dipidana.
Contoh lain :
A berniat membunuh B karena dendam. Selanjutnya A mendatangi rumah B, setibanya
didepan rumah B kira-kira pukul 20.00 wib, diteras B ada seseorang laki-laki
yang sedang membaca koran danterlihat oleh A ini adalah B, langsung A dengan
cepat membacok orang tersebut berkali-kali, ternyata orang itu bukanlah B,
tetapi anak B yang mirip dengannya,yaitu si C. Disini terjadi Error in pesona.
Kekeliruan terhadap orangnya, tetapi A tetapdpat dipidna karena ia telah
membunuh C.
Dwaling atau Error berkaitan erat dengan kesengajaan Opzet, karena pada saat
melaksanakan kejahatan telah terdapat unsur opzet (kesengajaan), walaupun
terjadi kekeliruan terhadap objek dan orang yang menjadi korban kejahatan.
BAB IV
HAL-HAL YANG MENIADAKAN, MERINGANKAN
DAN MEMBERATKAN PIDANA
A. HAL-HAL YANG MENIADAKAN PIDANA
Hal-hal yang meniadakan pidna didasarkan pada :
1. Alasan pemaaf; pasal 48, 49
2. alasan pembenaran; pasal 50, 51
Dalam hukum pidana dikenal istilah Strafnitsluitings gronder. Pengertian dari
Strafsnitsluitingsgronder adalah hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan,
bahwa seseorang yang telah melakukan sesuatu perbuatan yang dengan tegas
dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang (perbuatan berupa delict)
tidak dapat dipidana.
Dalam praktek strafnitsluitingsgronder disebut faits d’ excuses, yang berarti
hal-hal yang memaafkan.
Menurut m.v.t : hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang
melakukan delict tidk dapat dihukum terletak pada orangnya sendiri (sebab dari
dalam/ in wendige oorzaken) keadaan seperti ini diatur dalam pasal 44 KUHP ayat
(1) :
“Barang siapa melkukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena
penyakit, tidak dipidana”.
Terhadap orang yang jiwanya dihinggapi penyakit atau tidak tumbuh deng
sempurna, bila melakukan tindak pidana tidak dipidana (dapat dimaafkan). Hakim
dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan kerumah sakit jiea untuk diobati.
Hal-hal / keadaan yang menyebabkan pidana ditiadakan, oleh karena seseorang
tidk dipertanggung jawabkan terhadap perbuatnnya itu terletak diluar diri
sipelaku (uit wendige oorzaken). Ketentuan keadaan seperti ini diatur dalam
pasal 48, 49, 50 dan pasal 51 KUHP.
ad. 1. Alasan Pemaaf
1. Pasal 48 KUHP :
“Barang siap melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.
Sebagai contoh : Bila seseorang melakukan sesuatu delict, oleh karena
perbuatannya itu dipaksakan oleh orang lain, perbuatannya dapat dimaafkan.
Menurut M.V.T. arti pasal 48 KUHP (Overmacht) adalah tiap-tiap
kekuatan/paksaan/tekanan yang sedemikian rupa sehingga kekuatan/ paksaan/
tekanan tak dapat dielakkan. Sifat/Paksaan (Overmacht) terdiri dari :
a. Absolut dwang (paksan absulut) yaitu paksaan yang benar-benar tidak dapat
dielakkan.
b. Relative dwang (paksaan relatif), yaitu paksaan yang dapt dielakkan, tetapi
dalam keadaan tertentu menurut perhitungan yang layak tak dapat dilakukan.
c. Physiche dwang, yaitu paksaan yang terjadi atas kekuatan badan paksaan yang
diderita badan seseorang.
d. Physhiche dwang, yaitu paksaan yang diderita seseorang.
Contoh Overmache karena paksaan absolut (vis absoluta) :
A memgang B dengn kuatnya dan mendorong B memasuki rumah orang lain tanpa izin,
sehingga perabot rumah C hancur, karena itu B tidak dapat dipidana, tetapi A
lah yang harus dipertanggung jawabkan dan dapat dipidana.
Contoh Overmacht karena paksaan relatif (Vis Compulsiva) : A memaksa B memukul
C, dan jika B tidak melaksanakan kehendak B akan dipukul A. Sebetulnya ancaman
A yang ditujukan kepad B itu dapat diletakkan, misalnya B melarikan diri. Akan
tetapi menurut pikiran yang layak dari orang yang berada dalam keadaan demikian
itu tidak dapat diharapkan, bahwa B akan mengelakkan paksaan tersebut, dan
akhirnya ia melaksanakan kehendak dari si A.
Selain paksaan itu timbulnya dari manusia dapat pula karena kekuatan alam.
Contoh paksaan kekuatan alam :
A sedang mandi dilaut dan pakaiannya diletakkan di tepi pantai ; tiba-tiba
timbul angin kencang, sehingga pakaian A terbawa angin ke jalan raya. A
terpaksa mengambilnya dijalan raya (umum) tanpa pakaian. Hal ini sebenarnya
melanggar kesusilaaan, akan tetapi karena kekuatan alam, maka A terpaksa
berbuat demikian. Karena itu tidak dapat dipidana dan perbuatan A tidak dapat
dimaafkan.
Berkaitan dengan Overmacht dalam doktrin dikenal dengan noodtoestand (keadaan
darurat).
Adapun yang dimaksud dengan noodtoestand adalah keadaan dimana suatu
kepentingan hukum dalam keadaaan bahaya, dan untuk menghindarkannya ( bahaya
tersebut), terpaksa dilanggar kepentingan hukum yang lain.
Noodtoestand (keadaan darurat), apabila terdapat :
1. Konflik dalam kepantingan hukum
2. Konflik antar kepentingan hukum dan keharusan hukum.
3. Konflik antar dua keharusan hukum.
Menurut doktrin Noodtoestand, tidak termasuk overmacht. Overmacht adalah
tekanan atas paksaan itu ditimbulkan oleh manusia, sedangkan noodtoestand
tekanan atau paksaan itu timbul oleh masalah-masalah diluar manusia.
Contoh Noodtoestand :
1. Konflik dalam kepentingan hukum
Di tengah lautan sebuah kapal pecah, dan untuk menyelamatkan diri, dua orang
berpegangan pada sebuah kayu balok. Balok itu hanya dapat digunakan oleh
seorang saja. Karena tidak ada pertolongan dan untuk menyelamatkan diri,
seorang diantaranya mendorong temannya itu hingga tenggelam dan mati.
2. Konflik antara kepentingan hukum dan keharusanhukum.
A dipanggilsebagai saksi ke Pengadilan untuk didengar keterangannya sebagai
saksi. Hal ini merupakan keharusan hukum baginya utnuk dipenuhi, akan tetapi
saat ia harus menghadap panggilan, ia jatuh sakit, sehingga tidak dapat
memenuhi panggilan itu.
3. Konflik antara dua keharusan hukum
A adalah seorang dokter militer.
Sebagai dokter militer itu mempunyai 2 sifat, yaitu :
a. Ia sebagai seorang dokter;
b. Ia juga sebagai seorang meliter.
Sebagai seorang dokter ia harus menyimpan segala rahasia jabatannya, akan
tetapi sebagai militer ia harus tunduk kepada perintah meliter.
Jika oleh atasannya ia ditanya perihal tentara yang dirawatnya ia harus menerangkan
yang sebenarnya, akan tetapi bila ia menerangkan keadaan yang sebenarnyadari
pasiennya, maka ia akan melanggar rahasia jabatan.
Akan tetapi bila ia tidak menerangkan keadaan sebenarnya, ia melanggar disiplin
meliter.
Dalam hal ini terdapat konflik antara dua keharusan hukum
2. Pasal 49 KUHP
(1) Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk
diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan, kesusilaan atau harta benda
sendiri atau orang lain, karena serangan atau ancaman serangan yang sangat
ketat pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak
dipidana.
Dalam doktrin pasal 49 KUHP ayat (1) dikenal sebagai Noodweer, pasal 49 ayat
(2) KUHP sebagai Noodweer Exces.
Di samping itu dikenal pula Noodtoestand, yang artinya keadaan darurat.
Contoh Noodweer :
A menyerang B. untuk membela diri terhadap serangan yang dilakukan B terhadap
A. dalam hal ini A tidak dapat dihukum, dan perbuatannya itu dapat dimaafkan.
Noodweer pasal 49 KUHP, terdiri dari 2 syarat :
1. Syarat pokok terdiri atas 2 hal:
a. harus ada serangan
b. terhadap serangan itu perlu diadakan pembelaan.
2. Syarat-syarat yang terdiri atas :
Sifat syarat-syarat pokok, yaitu :
a. Serangan harus timbul secara mendadak atau serangan itu harus mengancam
secara langsung.
b. Serangan itu harus bersifat bertentangan dengan hukum
c. Sifat pembelaan itu harus benar-benar diperlukan (noodzakelijke).
d. Disamping noodzakelijke, pembelaan itu harus ada kesinambungan antara
kepentingan hukum yang dilanggar dan dibela.
e. Kepentingan yang dibela itu hanya mengenai lijf (badan, tubuh seseorang),
Eer baar heid (kesusilaan atau sentuhan badan berkaitan dengan kehidupan
kelamin).
Selain hal-hal diatas yang merupakan alasan pemaaf (pasal 48 dan pasal 49
KUHP), dikenal pula Putatief noodweer exes.
Putatif noodweer adalah pembelaan yang dilakukan oleh seseorang yang mengira
bahwa ia diserang oleh orang lain yang timbul seketika itu juga secara mendadak
dan bertentangan dengan hukum.
Putatief Noodweer, apabila :
1. Orang mengira terjadi serangan mendadak tetapi sebenarnya tidak.
2. Pihak ketiga mengira orang lain menjadi korban serangan mendadak, lalu
memberikan bantuan.
Perbedaan Noodweer dengan Noodtoestand :
Noodweer :
1. Terdapat hak seorang yang perlu dibela terhadap perbuatan yang melawan
hukum.
2. Kepentingan yang dapat dibela hanyalah berupa badan, kehormatan atau
barang/benda.
3. Pada umumnya dianggap sebagai rechtvaardigingsgronder (perbuatan yang tidak
dapat dianggap melawan hukum).
Noodtoestand
1. Terdapat satu hubungan, dimana terdapat suatu hal yang dihadapkan dengan
lain hak, suatu pertentangan antara kepentingan-kepentingan hukum (Conflict van
rechts) berlangsung.
2. Pertentangan yang dapat dibela tidak dibatasi, asal kepentingan hukum yang
dibela itu seimbang dengan kepentingan hukum yang dilanggar.
3. Masih terdapat perbedaan, apakah bersifat Strafnitsluittingsgrond atau
rechtsvaadigingsgrond
Noodweer Exes
Berdasarkan pasal 49 ayat (2) KUHP, bahwa orang yang melampaui batas pembelaan
yang perlu, jika perbuatan itu oleh serangan itu, maka orang itu tidak
dipidana.
Jadi yang dimaksud dengan Noodweer exes, adalah cara pembelaan diri melampaui
batas-batas keperluan pembelaan (Noodzakelijke verdedingin)
Pembelaan melampaui batas, harus memenuhi syarat-syarat :
1. Pembelaan tidak perlu Noodzakelijke, artinya tidak ada jalan lain yang
mungkin untuk menghindarkan serangan itu.
2. pembelaan itu tidak perlu geboden. Artinya tidak harus ada keseimbangan
antara kepentingan hukum yang diancam dengan kepentingan hukum yang dilanggar
karena pembelaan.
3. serangan itu harus melawan hukum (wederrechtelijk) dan tiba-tiba langsung
mengancam.
4. Tekanan jiwa dan serangan itu harus ada hubungan causal (causal verband)
Ad. 2 Alasan Pembenaran
1. Pasal 50 KUHP
“ Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang
tidak dipidana”
hal ini dalam hukum pidana disebut “ wattelijkeVoorscriften.
Sebagai contoh :
A melakukan sesuatu perbuatan pelaksanaan pidana mati, yang sebenarnya dilarang
dan diancam dengan pidana, oleh undang-undang dibenarkan.
Contoh lain :
Dalam operasi meliter melakukan pembersihan/pembantaian terhadap pemberontak,
berarti melakukan pembunuhan. Karena melaksanakan ketentuan undang-undang, hal
ini tidak dipidana dan dibenarkan
Mula-mula Wettelijk voorschrift ditafsirkan sebagai undang-undang dalam arti
formil.
Kemudian pendirian Hoogeraad berubah tidak saja dalam arti formil, tetapi juga
dalam artian materiel.
Artinya setiap peraturan yang dibuat oleh badan/organisasi, yang oleh
undang-undang diberi kekuasaan untuk membuat peraturan yang mengikat.
Dalam hubungan dengan pelaksanaan undang-undang itu perlu dipahami dengan
wewenang dan kewajiban.
Wewenang (bevoegheid), misalnya apabila terjadi suatu kejahatan, maka polisi
berkuasa/berwenang untuk melakukan penggeledahan dan pemeriksaan dalam rumah
sipelaku.
Kewajiban (verplichting)
Bila seorang polisi mengetahui ada orang melakukan kejahatan, maka ia
berkewajiban untuk menangkap orang tersebut.
Dalam melaksanakan wewenang dan kewajiban yang penting adalah pelaksanaannya
harus seimbang dan patut, artinya terbatas sesuai dengan prosedur hukum yang
berlaku.
2. Pasal 51 KUHP :
Pasal 51 KUHP (Amtelijke bevel) terdiri dari 2 ayat :
(1) Barangsiapa melakukan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak
dipidana.
(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali
jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan
wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Dalam hukum pidana disebut Amtelijke bevel
Sebagai contoh :
Pasal 51 ayat (1) KUHP:
A seorang polisi diperintah untuk menangkap seorang penjahat kambuhan
(residivis) oleh Komandannya.
Pada saat akan ditangkap penjahat itu melakukan perlawanan dengan pedang. Dalam
melaksanakan perintah itu A terpaksa melumpuhkan sipenjahat dengan cara
menembaknya agar dapat ditangkap.
Penembakan itu dibenarkan oleh hukum dan A tidak dapat dipidana .
Contoh pasal 51 Ayat (2) KUHP :
Seorang perwira polisi memerintahkan polisi bawahannya untuk memukul seseorang
hingga cidera. Perwira tersebut dapat dipidana karena penganiayaan, hal ini
karena diluar kekuasaannya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa apabila seseorang menjalankan perintah
undang-undang (pasal 50 KUHP) dan menjalankan perintah jabatan yang sah (pasal
51 KUHP), merupakan alasan pembenaran dan terhadap mereka tidak dipidana.
Diluar undang-undang terdapat pula hal-hal yang meniadakan pidana
(Strafuitsluitingsgronden).
Ada 4 jenis perbuatan yang meniadakan pidana, yaitu :
1. Perbuatan orang tua terhadap anaknya
Hal ini karena termasuk kekuasaan orang tua terhadap anaknya.
Misalnya, memukul anaknya karena anaknya nakal sebagai pelajaran. Tetapi hal
tersebut harus dalam batas yang layak dan wajar, tidak sampai membahayakan jiwa
sianak.
Hal ini berlaku terhadap anak yang belum dewasa.
2. Perbuatan seorang ahli dalam lapangan ilmu pengetahuan.
Misalnya perbuatan percobaan terhadap hewan dengan tujuan untuk memberantas
suatu penyakit.
Percobaan terhadap hewan itu adalah menyakiti hewan dengan sengaja termasuk
menyiksa binatang.
Karena jelas tujuannya, maka perbuatan seorang ahli tersebut tidak dipidana,
walaupun perbuatannya itu melanggar ketentuan pasal 302 KUHP.
3. Perbuatan ahli bedah (Chirurch)
Seorang ahli bedah, yaitu melakukan pembedahan terhadap tubuh manusia, pada
hakekatnya perbuatan itu menyakiti dan melukai seseorang,. Jadi merupakan
penganiayaan, yaitu menimbulkan rasa sakit atau cidera pada orang lain.
Akan tetapi perbuatan Chirurch ini tidak dipidana, karena perbuatan itu untuk
menyembuhkan sipenderita dari penyakitnya.
4. Perbuatan Ahli kebidanan (Gynaecoloog)
Seorang ahli kebidanan membunuh anak yang masih berada dalam kandungan si Ibu,
karena untuk menyelamat jiwa si Ibu yang sedang mengandung.
Dikwatirkan kalau tidak digugurkan anak yang masih dalam kandungan itu
membahayakan jiwa si Ibu.
Gynaecoloog, melakukan obortus karena dalam keadaan Noodstand (keadaan
darurat).
Dikarenakan hal tersebut perbuatan ahli kebidanan tadi tidak dipidana.
Seandainya datang seorang perempuan yang sedang hamil, jika kandungannya
digugurkan, dengan alasan ia tidak menginginkan anaknya yang akan lahir itu,
hal ini tidak dapat dibenarkan, baik ahli kebidanan itu maupun perempuan tadi,
yang kedua dapat dipidana.
B. HAL-HAL YANG MERINGANKAN PIDANA
Hal-hal yang meringankan pidana didasarkan kepada :
1. Diatur dalam KUHP.
2. Berdasarkan praktek
Ad. 1 Hal-hal yang meringankan pidana yang diatur dalam KUHP
Hal ini diatur dalam pasal 45, 53, dan 57 KUHP. Berdasarkan ketentuan pasal 45
jo pasal 46 dan pasal 47 KUHP, maka orang yang dituntut melakukan tindak
pidana, tetapi umurnya belum 16 tahun (belum dewasa) maka hakim dapat
menentukan bahwa :
1. Memerintahkan dikembalikan kepada orang tuanya.
2. Memerintahkan diserahkan kepada pemerintah untuk dididik
3. Dijatuhkan pidana tetapi maksimum pidana pokok dikurangi sepertiga
Apabila kejahatan yang dilakukan orang belum dewasa itu diancam dengan pidana
mati atau seumur hidup, hanya dijatuhi pidana penjara paling lama 15 tahun.
Pidana tambahan yang terdapat dalam pasal 10 KUHP tidak diterapkan.
Apabila seseorang melakukan percobaan tindak pidana (Pasal 53 KUHP), maka
terhadap orang tersebut dipidana sebagai berikut :
1. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiga
2. Jika kejahatan itu diancam pidana mati atau seumur hidup, dipidana paling
lama 15 tahun penjara.
Sebagai contoh, seseorang melakukan percobaan tindak pidana pencurian. Artinya
tindak pidana pencurian itu belum selesai diluar kemauan sipembuat. Terhadap
sipembuat atau sipelaku dapat dipidana karena melanggar pasal 362 KUHP, dengan
pidana paling tinggi 5 tahun dikurangi 1/3 dari 5 tahun (1 tahun 8 bulan)
menjadi 3 tahun 2 bulan penjara.
Dalam hal pembantuan atau membantu melakukan kejahatan (pasal 57 KUHP),
menentukan bahwa :
1. Maksimum pidana pokok dikurangi 1/3.
2. hanya dapat dijatuhi pidana paling lama 15 tahun penjara
3. Pidana tambahan dapat dijatuhkan kepada sipembantu
Jadi hal-hal yang meringankan pidana dapat diberikan kepada orang yang belum
dewasa (belum berumur 16 tahun) yang melakukan tindak pidana terhadap orang
yang melakukan suatu percobaan kejahatan dan orang yang membantu suatu
kejahatan.
Ad.2 Dalam Praktek
Dalam praktek pengadilan, hal-hal yang meringankan pidana terhadap pelaku
kejahatan adalah, antara lain :
1. Belum pernah dipidana;
2. Usia masih muda;
3. Sopan dalam persidangan ;
4. Tidak memberi keterangan yang berbelit-belit
5. Menyatakan penyesalannya;
6. Mengakui perbuatannya ;
7. Telah mengadakan perdamaian secara kekeluargaan.
Hal-hal tersebut diatas, lazimnya dalam praktek sebelum hakim menjatuhkan
pidana yang merupakan pemidanaan terhadap kesalahan seseorang sebagai
pertanggung jawaban pidana atas perbuatannya itu disebutkan alasan-alasan yang
meringankan terpidana dan juga alasan-alasan yang memberatkan terpidana.
C. HAL-HAL YANG MEMBERATKAN PIDANA
Hal-hal yang memberatkan pidana dapat dilihat dari
1. Keadaan pelaku;
2. Tindak pidana yang dilakukan;
Dalam KUHP ditentukan bahwa apabila yang melakukan tindak pidana itu adalah
seseorang Pegawai Negeri yang melakukan tindak pidana dengan menggunakan
jabatan, pengulangan (residivis) dan gabungan tindak pidana (Samenloop),
diperberat pidananya, pidananya itu dapat ditambahkan sepertiga dari ancaman
pidana ketentuan yang dilanggarnya.
Ad.1 Keadaan Pelaku
Berdasarkan pasal 52 KUHP, bahwa bilamana seorang pegawai negeri karena
melakukan delik melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada
waktu melakukan delik memakai kekuasaan karena jabatannya, pidananya dapat
ditambah. Kejahatan jabatan ini diatur secara khusus pada pasal 413 s.d 437
KUHP.
Sebagai contoh :
Seorang pegawai negeri menggelapkan uang karena jabatannya sebagai bendahara.
Memalsukan surat-surat penting, menerima hadiah yang berhubungan dengan
jabatannya. Menyalahgunakan kekuasaannya, menguntungkan diri dengan memaksa
seseorang memberikan sesuatu secara melawan hukum. Membiarkan tahanan melarikan
diri. Seorang pegawai negeri melampaui kekuasaannya merampas surat-surat pada
instansi lain agar tidak dapat digunakan.
Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera kebangsaan Republik
Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebtu dapat ditambah sepertiga (pasal 52 a
KUHP)
Sebagai Contoh :
Komplotan bajak laut (perampok). Merampok dilaut dengan menggunakan Kapal
Bendera Indonesia, selain mengambil harta orang-orang yang ada di atas kapal
yang dirampok, mereka juga membunuh beberapa orang di atas kapal itu, sebelum
merampas harta benda yang ada di atas kapal.
Keadaan pelaku yang memiliki jabatan yang syah sebagai pegawai negeri, yang
menyalahgunakan jabatan dan kesempatan, pemaksaan sebagaimana yang diatur dalam
KUHP, dapat pula disangka/dituntut melakukan tindak pidana korupsi, atau tindak
pidana suap.
Ad.2 Tindak Pidana
Hal yang memberatkan pidana kepada pelaku tindak pidana adalah apabila tindak
pidana itu telah berulang kali dilakukan, juga apabila terjadi gabungan tindak
pidana. Ketentuan pengulangan (residive) diatur pada pasal 486, 487 dan pasal
488 KUHP.
Sebagai contoh :
Seseorang yang telah dipidana karena melanggar pasal 365 KUHP, yaitu pencurian
dengan ancaman kekerasan telah bebas menjalankan pidananya. Kemudian setelah
bebas itu (keluar lembaga pemasyarakatan) ia kembali melakukan kejahatan yang
sama atau kejahatan lain. Terhadap pelaku tersebut pidananya ditambah atau
diperberat dengan sepertiga tdari ketentuan pidana yang dilanggar.
Ketentuan mengenai gabungan tindak pidana (samenloop) diatur pada pasal 63 s.d
71 KUHP.
Dalam hal gabungan tindak pidana ini dapat terjadi dalam bentuk :
1. Melakukan suatu perbuatan, tetapi melanggar beberapa aturan pidana.
2. Melakukan beberapa perbuatan, masing-masing perbuatan itu merupakan tindak
pidana kejahatan tersendiri.
Sebagai contoh :
1. A mengendarai kendaraan Sepeda Motor, dimalam hari tanpa lampu dan tidak
memiliki SIM, juga tidak membawa STNK. Kemudian orang tersebut ditangkap Polisi
Lalu Lintas dan ditilang
2. A bermaksud merampok, sebelum membawa lari barang-barang rampokannya. Ia
membacok tuan rumah dan memperkosa isteri tuan rumah.
Dengan demikian dari sudut tindak pidana, apabila terjadi residive atau
samenloop, maka merupakan suatu alasan untuk memperberat pidana terhadap
pelakunya oleh Hakim/Pengadilan.
BAB V
PEMIDANAAN
A. PENGERTIAN
Pemidanaan adalah suatu penjatuhan hukuman yang khusus diberikan kepada
seseorang yang melakukan suatu tindak pidana.
Pemidanaan itu diberikan/dijatuhkan oleh Hakim kepada seseorang yang ternyata
setelah melalui sidang pengadilan berdasarkan undang-undang dan alat-alat bukti
yang cukup, Hakim berkeyakinan bahwa terdakwa bersalah melanggar sesuatu
ketentuan pidana yang didakwakan kepadanya. Hal ini dalam ilmu pengetahuan
hukum pidana digunakan istilah Pidana dan Pemidanaan.
Pidana maksudnya adalah hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang yang
melakukan tindak pidana, karena melanggar ketentuan pidana yang berupa
kejahatan atau pelanggaran yang termuat dalam KUHP.
Jenis-jenis pidana yang dapat diberikan kepada orang yang melakukan tindak
pidana seperti yang ditentukan pada pasal 10 KUHP, yang berupa pidana pokok
terdiri dari pidana mati, pidana penjara, kurungan, denda dan pidana tutupan.
Sedangkan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan
barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim.
Pemberian atau penjatuhan salah satu jenis pidana kepada terdakwa yang
melanggar ketentuan hukum pidana karena dinyatakan bersalah oleh hakim,
dinamakan pemidanaan. Dengan kata lain pemidanaan adalah orang yang dijatuhi
pidana karena telah terbukti kesalahannya dengan suatu putusan Hakim.
Sebagai contoh : Kasus pemidanaan
Seseorang yang didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum melakukan tindak pidana
perkosaan, melanggar pasal 285 KUHP, Kemudian disidangkan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Negeri.
Ternyata berdasarkan fakta dimuka persidangan terdakwa terbukti melakukan
tindak pidana perkosaan terhadap B. Oleh Hakim Pengadilan Negeri yang
menyidangkan terdakwa A karena kesalahannya dan meyakinkan telah melanggar
ketentuan pasal 285 KUHP dipidana dengan pidana selama 7 Tahun penjara. Pidana
yang dijatuhkan oleh Hakim tersebut adalah yang dimaksud dengan pemidanaan.
Menurut penjelasan pasal 51 Rancangan KUHP nasional dijelaskan bahwa :
“Pemidanaan merupakan suatu proses, sebelum proses ini berjalan, peranan hakim
penting sekali. Ia mengkongkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu
peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu” . pasal
ini memuat tujuan ganda yang hendak dicapai melalui pemindaan.
Dalam tujuan pertama jelas tersimpul pandangan perlindungan masyarakat. Tujuan
kedua terkandung maksud bukan saja untuk merehabilitasi, tetapi juga
mensosialisasikan terpidana, dan mengintegrasikan yang bersangkutan kedalam
masyarakat. Tujuan ketiga sejalan dengan pandangan hukum adat, dalam arti reaksi
adat. Itu dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan (magis) yang terganggu
oleh perbuatan yang berlawanan dengan hukum adat. Jadi pidana yang dijatuhkan
diharapkan dapat menyelesaikan konflik atau pertentangan dan juga mendatangkan
rasa damai dalam masyarakat. Tujuan keempat bersifat spiritual dicerminkan
dalam Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Pada hakekatnya pidana itu merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak
dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat
manusia. Ketentuan ini akan berpengaruh terhadap pelaksanaan pidana yang secara
nayata akan dikenakan kepada terpidana.
B. TEORI-TEORI DAN TUJUAN PEMIDANAAN
Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori mengenai pemidanaan, yang menjadi
dasar hukum dan tujuan pemidanaan (Strafrecht theorie), yaitu :
1. De Vergeldings theorie (Teori Absolut/pembalasan)
2. De Relative/Dedoel theorie (Theori relatif/teori tujuan)
3. De Verenigings theorie/De gemende theorie (teorie gabungan)
Ad. 1. De Vergeldings theori (teori absolut)
Teori ini dikenal sejak abad ke-18. menurut teori ini yang dianggap sebagai
dasar pidana dari pemidanaan ialah didasarkan atas alam pikiran pembalasan.
Ada beberapa perbedaan pendapat dikalangan ahli hukum pidana mengenai hal ini :
a. De Ethische Vergeldings theori, pendapat dari Immanuel Kant.
Menurut Immanuel Kant, bahwa kejahatan itu menimbulkan ketidak adilan, harus
juga dibalas dengan ketidak adilan.
Teori ini dinamakan teori absolut, karena menurut Kant, bila seorang melakukan
kejahatan, maka pidana itu merupakan tuntutan mutlak dari pemidanaan dan
kesusilaan. Oleh karena itu Kant mendasarkan pada alam pikiran atas
Sadelijkheid (kesusilaan) maka teorinya dinamakan De Ethische
Vergeldingstheorie.
b. De Dialectische Vergeldingstheorie, pendapat dari Hegel.
Menurut Hegel, bahwa hukum atau keadilan mempunyai kenyataan, jika seseorang
melakukan kejahatan, maka itu berarti bahwa ia menyangkal adanya pemidanaan
atau keadilan itu. Hal ini adalah hayal. Ketidak adilan itu mempunyai sifat
yang nyata dan karena itu harus diadakan, agar keadaan keadilan semuola dapat
dikembalikan. Menurut Hegel ini hanya dapat dilenyapkan dengan melakukan
ketidak adilan pula, yaitu dengan menjatuhkan pidana. Karena pemidanaan
merupakan suatu ketidak adilan. Cara berfikir Hegel adalah dealektis, karena
itu teorinya dinamakan De Dialectische Vergeldingstheorie.
c. De Aesthetische Vergeldingstheorie, pendapat dari Herbart.
Berbart menganggap bahwa bila seorang melakukan suatu kejahatan, maka kejahatan
itu menimbulkan rasa tidak puas kepada masyarkat. Agar masyarakat itu diberikan
kepuasan orang itu harus dijatuhi pidana karena dengan begitu kembali lagi rasa
puas itu dari masyarakat. Karena Herbart mendasarkan pada Aesthetika, maka
teorinya disebut De Aesthetika Vergeldingstheorie.
d. Hukum Ciptaan Tuhan, pendapat Stahl
Stahl berdasarkan atas fikiran ke Tuhanan, bahwa negara itu adalah wakil Tuhan
di dunia, dan bila seseorang melakukan kejahatan, maka ia berarti melanggar
ketertiban Tuhan di Masyarakat dunia. Kepada sipenjahat dijatuhkan pemidanaan
agar ketertiban itu dapat dipertahankan kembali. Menurut teori ini kejahatan
pembunuhan harus dibalas dengan pidana mati.
Ad.2. De Relative/ De doeltheori (teori relatif/tujuan)
Teori ini menganggap bahwa dasar pidana dari pemidanaan ialah tujuan dari
pidana itu sendiri, karena pidana itu mempunyai tujuan tertentu.
Menurut teori ini sebagai dasar pidana ialah tujuan pokok, yaitu mempertahankan
ketertiban masyarakat. Cara untuk mencapai tujuan dari pidana tersebut, dikenal
beberapa teori :
a. Preventive Theori (Teori pencegahan)
Tujuan utama dari pemidanaan dicari dengan cara pencegahan kejahatan. Pidana
itu diadakan untuk mencegah orang-orang yang melanggar ketertiban masyarakat,
yakni :
1. Algemene/ Generale preventive (pencegahan umum)
Pencegahan secara umum ialah apabila pencegahan itu ditujukan kepada khalayak
rama, kepada semua orang, kepada masyarakat luas.
2. Bijzondere/Speciale preventive (pencegahan kejahatan khusus).
Pencegahan kejahatan khusus, adalah agar penjahat jangan mengulangi
kejahatannya. Caranya dengan jalan menakut-nakuti dengan ancaman pidana berat
untuk menimbulkan kesadaran setiap orang agar tidak melakukan kejahatan.
Tetapi karena ada orang-orang tertentu yang memiliki bakat jahat, tidak akan
memperdulikan ancaman pidana yang berat sekalipun. Terhadap penjahat yang
demikian itu perlu diterapkan pidana berat seperti pidana seumur hidup atau
pidana mati.
b. Verbetering Van de dader (memperbaiki sipenjahat)
Tujuan pidana ialah untuk memperbaiki sipenjahat , agar sipenjahat itu menjadi
manusia yang baik (reclasering), caranya dengan menjatuhkan pidana dan
pendidikan selama ia menjalani pidana. Ia dididik agar ia dapat menjadi manusia
yang baik.
Misalnya selama ia menjalani pidana penjara diberikan pendidikan tata tertib
(disiplin), keagamaan agar percaya kepada Tuhan, demikian pula pendidikan
kejujuran dan keterampilan, misalnya membikin perabot rumah tangga, menjahit,
dan lain-lainnya, sehingga setelah bebas, dan kembali ke masyarakat dapat
mencari nafkah dengan pengetahuan yang telah dimilikinya.
c. Onschadelijk maken van de misdadiger (membinasakan penjahat).
Membinasakan penjahat ditujukan kepada penjahat-penjahat tertentu, yaitu yang
tidak dapat diperbaiki lagi, residivis (penjahat kambuhan) yaitu setelah menjalani
pidana kemudian bebas, dibekas penjahat itu tetap saja melakukan kejahatan,
sehingga menimbulkan keresahan masyarakat. Terhadap penjahat tersebut harus
dibinasakan dengan hukuman berat yaitu dengan pidana seumur hidup atau pidana
mati.
d. Herstel van gelden maatchappelijk madell
Bahwa kejahatan itu menumbuhkan kerugian ideal dalam masyarakat, pidana itu
bertujuan untuk memperbaiki tujuan dari masyarakat.
Pada masa sekarang titik berat penjatuhan pidana adalah verbatering van de
dader (memperbaiki penjahat). Pemidanaan dijalankan oleh terpidana dengan
mendapat pembinaan melalui berbagai pendidikan yang dilakukan oleh petugas
lembaga Pemasyarakatan bekerjasama dengan instansi yang terkait, sehingga
diharapkan nantinya setelah ia bebas dapat melakukan pekerjaan, dapat diterima
kembali oleh masyarakat dan menjadi manusia yang baik dan tidak lagi melakukan
kejahatan.
Ad.3 Vereninging/gemende theorie (teori gabungan
Teori ini mencakup kedua teori yaitu teori absolut dan teori relatif. Dasar
hukum dari de vereningings theori, yaitu pembalasan dan tujuan.
Menurut teori gemende, bahwa vergeldings theori (teori pembalasan) terdapat
kelemahan, yaitu :
a. dapat menimbulkan ketidak adilan ;
b. Bila dasarnya hanya pembalasan saja, mengapa negara saja berhak memberikan
pidana.
Terhadap Doeltheorie (teori tujuan) terdapat kelemahan juga, yaitu :
a. Dapat menimbulkan ketidak adilan;
b. Kepuasan masyarakat diabaikan;
c. Sukar dicapai dalam praktek;
Berdasarkan teori gabungan (gemende theorie), maka pemidanaan didasarkan atas
pembalasan dan tujuan pidana itu sendiri. Karena itu harus ada keseimbangan
antara pembalasan dengan tujuan pemberian pidana terhadap seorang penjahat,
agar tercapai keadilan dan kepuasan masyarakat.
Berdasarkan rancangan KUHP Departemen Kehakiman RI, utama pemidanaan bertujuan
:
1. Mencegah dimungkinkannya tindak pidana dengan cara menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat.
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga
menjadikannya orang yang baik dan berguna.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana. Memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan cara yang sesuai dalam masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pasal 51 ayat (1) Rancangan KUHP)
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan
merendahkan martabat manusia. (Pasal 51 ayat 2)
C. JENIS-JENIS PIDANA DAN TINDAKAN
1. Jenis-Jenis Pidana
Dalam KUHP ketentuan pidana diatur pada pasal 10 sampai pasal 41.
Jenis-jenis pidana yang telah ditentukan pada pasal 10 KUHP, pidana terdiri
dari :
a. Pidana Pokok, meliputi :
1) Pidana mati ;
2) Pidana Penjara;
3) Pidana kurungan;
4) Pidana denda ;
5) Pidana tutupan. ( UU No. 20 Tahun 1946)
b. Pidana Tambahan, terdiri dari :
1) Pencabutan hak-hak tertentu;
2) Perampasan barang-barang tertentu;
3) Pengumuman putusan hakim;
Penjatuhan pidana (Pemidanaan) oleh hakim yang merupakan pidana pokok (utama)
tidak boleh lebih dari satu jenis pidana. Artinya hakim hanya boleh menentukan
salah satu jenis pidana pokok yang dianggap paling cocok dengan kesalahan dari
pelaku tindak pidana. Dengan demikian tidak boleh dilakukan Cumulatie pidana
pokok.
Cumulatie pidana hanya dapat diterapkan oleh Hakim, dengan cara menjatuhkan
satu pidana tambahan. Misalnya : Mempidana dengan pidana penjara 2 Tahun dan
pidana perampasan barang-barang tertentu.
Pidana mati dilaksanakan dengan cara ditembak sampai mati. Hal ini didasarkan
pada PNPS No. 2 Tahun 1964, D.N. No. 38 Tahun 1964.
Apabila terpidana mati seorang perempuan hamil, pelaksanaan pidana matinya ditunda
sampai terpidana melahirkan anaknya.
Pidana penjara terdiri dari penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu.
Pidana penjara minimum (Straf minimal) selama 1 hari dan maksimal (straf
maksimal) selama 15 tahun.
Apabila terdakwa diancam dengan pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan
berat, hakim dapat memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana
paling lama 20 tahun penjara (straf maksimal). Ketentuan ini diatur dalam pasal
12 KUHP.
Terpidana yang dijatuhi pidana penjara wajib menjalankan segala pekerjaan yang
dibebankan kepadanya berdasarkan ketentuan pelaksanaan pasal 29 KUHP. Ketentuan
ini diatur pada pasal 14 KUHP.
Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun. Jika ada
pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan atau pengulangan karena
ketentuan pasal 52 KUHP ; pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun
empat bulan (pasal 18 KUHP).
Pekerjaan yang diberikan kepada terpidana kurungan harus lebih ringan, daripada
orang yang dijatuhi pidana penjara.
Orang yang menjalani pidana kurungan dengan biaya sendiri diperbolehkan sekedar
meringankan nasibnya. Kepadanya diberikan hak Pistole (menggunakan uang sendiri
untuk keperluannya dalam batas-batas yang wajar). (pasal 23 KUHP).
Orang yang dijatuhi pidana penjara seumur hidup, nara pidana wanita, dan orang
yang kesehatannya kurang baik, tidak boleh dipekerjakan di luar tembok Lembaga
Pemasyarakatan (Pasal 25 KUHP).
Terhadap pemidanaan denda, hakim dapat menetapkan pidana pengganti denda dengan
pidana kurungan, apabila sampai waktu pembayaran denda, pidana denda tersebut
tidak dibayar. Pidana kurungan pengganti denda minimum satu hari, dan maksimum
enam bulan.
Dalam hal terpidana karena gabungan tindak pidana atau pengulangan pidana,
pengganti denda dengan pidana kurungan paling lama 8 bulan, (Pasal 30 KUHP)
Apabila terpidana melarikan diri, maka waktu selama diluar tempat menajalani
pidana tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana (pasal 34 KUHP).
Hak-hak terpidana sebagai pidana tambahan berdasarkan pasal 35 KUHP, dapat
dicabut dengan putusan hakim, yaitu :
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatanan tertentu.
2. Hak memasuki angkatan bersenjata
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum.
4. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan Pengadilan, hak
menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang
bukan anaknya sendiri.
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian dan pengampu atas
anak sendiri.
6. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu.
Lamanya pencabutan atas hak-hak terpidana berdasarkan ketentuan pasal 38 KUHP,
sebagai berikut :
1. Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan
seumur hidup.
2. Dalam pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan lamanya
pencabutan paling sedikit 2 tahun dan paling lama 5 tahun.
Pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan atau
telah mempunyai kekuatan tetap.
Barang-barang yang dapat dirampas sebagai pidana tambahan, berdasarkan pasal 39
KUHP adalah sebagai berikut :
1. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja
dipergunakan untuk melakukan kejahatan.
2. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja
atau karena pelanggaran, dapat juga dirampas berdasarkan aturan hukum yang
berlaku.
3. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang bersalah yang diserahkan kepada
pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Semua biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dibebankan kepada negara.
Semua pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara. (Pasal
42 KUHP). Barang-barang yang dirampas dapat dijadikan milik negara atau
dimusnahkan karena membahayakan dan tidak bernilai ekonomis (Pasal 43 KUHP).
Apabila hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim, maka
hakim harus menetapkan cara-cara melaksanakan perintah itu atas biaya
terpidana, misalnya melalui media cetak atau elektronika dengan biaya terpidana.
2. Pidana dan Tindakan
Pidana diadakan agar ketentraman terjamin, agar setiap orang menghormati
kepentingan orang lain. Pidana itu seolah-olah dikehendaki oleh setiap orang
dalam rangka mempertahankan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Disamping
pidana atau hukuman (Straf) dalam hukum pidana, dikenal pula suatu tindakan
(matregel), yang juga untuk menjamin agar setiap ketentuan yang berlaku ditaati
oleh setiap orang.
Sebagai contoh, yang merupakan tindakan (matregel) seorang yang belum dewasa
(berumur kurang dari 16 tahun), jika melakukan kejahatan tidak perlu dijatuhi
pidana, tetapi dapat diambil tindakan, yaitu diserahkan kepada pemerintah
dengan tujuan bahwa pemerintah akan mendidik anak tersebut (pasal 45 KUHP).
Maksud dari pendidikan yang diberikan kepada anak yang masih belum dewasa itu
bukanlah mengekang kemerdekaannya, akan tetapi dengan maksud untuk
memperbaikinya.
Sebagai bahan perbandingan KUHP yang berlaku sekarang dengan Rancangan KUHP
Nasional, mengenai jenis-jenis pidana dan tindakan adalah sebagai berikut :
(1) Pidana Pokok adalah :
1. Pidana penjara.
2. Pidanda tutupan
3. pidana pengawasan
4. pidana denda
5. pidana kerja sosial
(2) Urutan pidana pokok di atas menentukan berat ringannya pidana.
Pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus, (Pasal 58)
(3) Pidana tambahan (Pasal 59) adalah :
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu dan tagihan
3. Pengumuman putusan hakim
4. Pembayaran ganti kerugian
5. Pemenuhan kewajiban adat.
Mengenai tindakan maatregel), jenis-jenisnya dirinci pada pasal 89 rancangan
KUHP, sebagai berikut :
(1) Hakim dalam pelaksanaannya dapat menjatuhkan tindakan berupa :
1. Perawatan di rumah sakit jiwa;
2. Penyerahan kepada pemerintah
3. Penyerahan kepada seseorang
(2) Hakim dalam putusannya dapat menjatuhkan tindak bersama-sama dengan pidana
pokok berupa :
1. Pencabutan surat izin mengemudi ;
2. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
3. Perbaikan akibat-akibat tindak pidana;
4. Latihan kerja
5. Rehabilitasi
6. Perawatan di dalam suatu lembaga;
D. PEDOMAN PEMIDANAAN
Berdasarkan ketentuan pasal 12 KUHP, pemidanaan yang dapat diberikan oleh hakim
kepada terdakwa, untuk pidana penjara paling sedikit 1 hari dan paling lama 15
tahun. Pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh melebih 20 tahun.
Untuk pemidanaan terhadap kejahatan tertentu, misalnya pembunuhan berencana
(pasal 340 KUHP), hakim dapat menjatuhkan pidana mati atau pidana 20 tahun
penjara.
Hakim dapat pula dalam kasus-kasus tertentu menjatuhkan pidana bersyarat dengan
masa percobaan (Pasal 14 a KUHP) seperti pelanggaran mengganggu ketertiban
umum, mengancam keaman orang lain (pasal 492 KUHP). Pelanggaran-pelanggaran
terhadap pasal 504, 505, 506 dan 536 KUHP (Pengemisan, gelandangan, menarik
keuntungan dari perbuatan cabul, dalam keadaan mabuk di jalan umum).
Pidana kurungan dapat dijatuhkan oleh Hakim paling sedikit 1 hari, dan paling
lama 1 tahun. Bila terjadi gabungan atau pengulangan tindak pidana, pidana
kurungan dapat ditambah menjadi 1 tahun 4 bulan (Pasal 18 KUHP). Apabila Hakim
memberikan pidana denda dapat sekaligus menetapkan pidana pengganti denda
dengan pidana kurungan, apabila denda tidak dibayar oleh terpidana.
Hal-hal lain yang memberatkan dan meringankan tersangka atas dasar pemeriksaan
di dalam persidangan pengadilan. Pedoman pemidanaan ini dapat pula kita temukan
dalam Rancangan KUHP, pada pasal 52 ayat (1) :
dalam pemidanaan Hakim wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Kesalahan pembuat ;
2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana ;
3. Cara melakukan tindak pidana;
4. Sikap batin sipembuat;
5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat;
6. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana.
7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;
8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan;
9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
10. Tindak pidana dilakukan dengan berencana;
dari penjelasan pasal 52 Rancangan KUHP, intinya untuk memudahkan Hakim dalam
menerapkan takaran pemidanaan. Pertimbangan tersebut tidak bersifat limitatif,
tetapi masih dapat menambahkan pertimbangan lain.
Apabila terhadap tindak pidana dilakukan dengan berencana harus diperhatikan
oleh hakim sebelum menjatuhkan pidana dengan mempertimbangkan unsur-unsur :
1. Kesalahan pembuat ;
2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana;
3. Cara melakukan tindak pidana; dan
4. sikap batin sipembuat;
Terhadap orang yang berulang kali dijatuhi pidana denda, untuk tindak pidana
yang hanya diancam dengan pidana denda, hakim dapat menjatuhkan pidana penjara
paling lama 1 tahun atau menjatuhkan pidana pengawasan bersama-sama dengan
pidana denda.
BAB VI
PENAFSIRAN HUKUM PIDANA
A. PENGERTIAN
Pembentuk undang-undang (wetgever), ketika merumuskan berbagai bentuk
kejahatan, telah berusaha memilih kata-kata yang setegas-tegasnya, tetapi dalam
kenyataannya dan dalam praktek, yaitu doktrin, dalam yurisprodensi , mengenai
kata-kata yang dipakai dlam perumusan delik, timbul beberapa perbedaan
pendapat, karena itu penafsiran itu sangat berguna dan menjadi hal yang
penting.
KUHP sendiri dalam hal penafsiran ini tidak menentukan bagaimana undang-undang
itu harus ditafsirkan, sehingga apabila undang-undang tidak memberikan
keterangan/penjelasan tentang sesuatu hal maka kita harus mencari bahan-bahan
itu dalam doktrin, atau dari keputusan hakim/yurisprodensi. Jadi jika tidak
diketemukan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana (doktrin), maka diusahakan
mencarinya dalam yurisprodensi. Bilamana undang-undang memberikan penafsiran,
yang disebut dengan “ Autentie Interpretatie”, maka penafsiran yang lainnya
tidak berlaku.
Hal ini dapat kita temukan pada Bab IX, dari pasal 86 sampai pasal 101 bis
KUHP.
Sebagai contoh pentingnya soal Interpretatie, kita lihat ketentuan pasal 285
KUHP.
“ Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Dari ketentuan pasal tersebut diatas, kita temukan istilah perkosaan. Istilah
ini tidak ada penafsiran secara resmi dalam KUHP, karena itu yang dimaksud
dengan perkosaan tersbut harus dicari dalam doktrin atau yurisprodensi atau
menggunakan berbagai penafsiran yang berlaku dalam hukum pidana.
B. JENIS-JENIS PENAFSIRAN
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal beberapa penafsiran (interpretasi)
hukum
1. Penafsiran otentik (Autentike Interpretatie)
Penafsiran otentik/resmi, ialah penafsiran yang diberikan sendiri oleh
undang-undang. Penafsiran yang lain tidak boleh digunakan.
a. Sebagai contoh, didalam pasal 104 KUHP ada istilah penyerangan/aanslag/
makar. Istilah ini secara resmi telah dirumuskan pada pasal 87 KUHP.
“dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu
telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal
33 KUHP.
Istilah samensparing (berkomplot), ditafsirkan secara resmi dalam pasal 88
KUHP, dikatakan berkomplot, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan
melakukan kejahatan.
b. Istilah semensparing (berkomplot), ditafsirkan secara resmi dalam pasal 88
KUHP, dikatakan berkomplot, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan
melakukan kejahatan.
c. Istilah malam hari (bijnacht) kita temukan dalam pasal 363 KUHP. Penafsiran
didapatkan secara resmi pada pasal 98 KUHP.
“ Pencurian diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada
rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui atau tidak
dikehendaki oleh yang berhak.
Yang disebut malam hari (bijnacht) atau waktu malam (pasal 98 KUHP), yaitu
waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit.
2. Penafsiran menurut tata bahasa ( gramatical taalkumde Interpretatie).
Penafsiran menurut tata bahasa ialah penafsiran dengan cara mencari arti
kata-kata dari suatu ketentuan undang-undang menurut tata bahasa.
3. Penafsiran sistematis (systematiche interpretatie)
Penafsiran sistematis, yaitu penafsiran maksud dari pada undang-undang dengan
menghubungkan bagian dari undang-undang, yaitu menghubungkan bagian dari
undang-undang yang satu dengan yang lain dari undang-undang itu.
4. Penafsiran Logis (Logische interpretatie)
Penafsiran logis ialahsuatu penafsiran yang menyandarkan penafsiran pada
pikiran sehat, yaitu mencari maksud peraturan yang menghubugkan undang-undang
tersebut dengan undang-undang yang lain.
5. Penafsiran Sejarah (Historische interpretatie)
Penafsiran historis ini, yaitu penafsiran yang didasarkan atas riwayat dari
pembentukan undang-undang.
Penafsiran dair sudut sejarah terdiri dari :
a. Rechtshistorische interpretatie, yaitu penafsiran dengan cara mempelajari
riwayat dari perkembangan/pertumbuhan dari yang diatur dalam undang-undang itu.
b. Wetshistorische interpretatie, yaitu penafsiran dengan cara mempelajari
riwayat pembentukan undang-undang, ketika undang-undang itu dibentuk,
bagaimanakah perkembangannya agar maksud wetgever (pembentuk undang-undang) itu
diketahui.
6. Penafsiran Analogis (Analogische interpretatie)
Penafsiran analogis, yaitu suatu penafsiran yang disandarkan atas alam pikiran
secara analogi, yaitu bila undang-undang itu kita kenal dalam hal lain yang
sejenis, dalam arti bahwa sifat hal itu adalah sama dengan sifat hal yang
diatur oleh undang-undang itu, maka peraturan yang tegas itu diperlakukan
terhadap perbuatan yang tidak diatur dengan tegas.
7. Penafsiran Teologis (Teologische, interpretatie)
Penafsiran teologis, yaitu penafsiran yang disandarkan atas maksud dari
pembentuk undang-undang itu. karena itu kita harus menyelidiki ketika
pembentukan undang-undang tersebut, apakah maksud pembentuk undang-undang
tersebut, apakah maksud pembentuk undang-undang untuk mengadakan undang-undang
tersebut.
8. Penafsiran ekstensif (extencive interpretatie)
Penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran secara memperluas peraturan yang
termaktub dalam suatu undang-undang. Berarti penafsiran suatu peraturan
perundang-undangan secara luas.
9. Penafsiran Restrictif (Restrictieve Interpretatie)
Penafsiran restrictif, yaitu suatu penafsiran undang-undang dengan cara
mempersempit arti peraturan-peraturan yang terdapat dalam undang-undang.
10. Penafsiran secara tegas (redemering Acontracio)
Penafsiran redering acontracio, ialah penafsiran undang-undang yang pada
hakekatnya sama dengan penafsiran terstrictive. Apabila dalam peraturan
undang-undang itu diatur suatu hal, peraturan itu hanya berlaku bagi hal yang
diatur secara tegas, tidak dapat diperlakukan terhadap hal-hal yang lain.
Cara-cara penafsiran tersebut diatas, tidak saja berlaku bagi hukum pidana,
tetapi berlaku juga terhadap hukum-hukum lainnya, seperti hukum perdata, hukum
tata negara dan lain-lain. Penafsiran secara analogis saja yang tidak boleh
diperlakukan terhadap hukum pidana, karena hal ini merupakan salah satu azas
bagi berlakunya hukum pidana bahwa ketentuan hukum pidana tidak boleh
ditafsirkan secara analogis.
C. BEBERAPA YURISPRUDENSI
Dbawah ini dikutip beberapa Yurisprudensi yang berkaitan dengan penafsiran
dalam hukum pidana.
Antara lain mengenai pengertian benda (goed), pengertian mengambil (wegnemen),
unsur memiliki dari penggelapan, dan pengertian kwitansi dan surat palsu.
1. Arrest Hegeraad tangal 23 Mei 1921 memperluas arti goed (benda) goed (benda)
tidak hanya ditafsirkan sebagai Staffelijk goed (benda berwujud), akan tetapi
juga sebagai benda yang tidak berwujud atau sebagai barang yang tidak berwujud.
Dengan dirumuskan “goed” juga sebagai barang yang tidak berwujud, maka
pencurian aliran listrik, uap maupun gas diakui oleh Hooge Raad. Hal ini dapat
dimengerti, karena pada saat wetboek van strafrecht dibentuk, belum ada aliran
listrik.
2. Dalam praktek pengertian mengambil (Wegnemen) diperluas. Dahulu pengertian
wegnemen yang dimaksud oleh WVS adalah membawa sesuatu benda dibawah kekuasaan
yang mutlak dan nyata, tetapi pengertian wegnemen (mengambil) telah diperluas.
Membawa kendaraan bermotor/mobil tanpa izin pemiliknya dikatakan mencuri
bensin.
B menjual sapi kepada C, sapi tersebut milik A. Kemudian B ditangkap polisi dan
diadili. Hakim menghukum B karena mencuri Sapi A.
3. Penggelapan
Unsur memiliki dalam pasal 372 KUHP, berarti menguasai suatu benda bertentangan
dengan sifat hak yang dimiliki atas benda itu. Putusan Hamkamah Agung RI
tanggal 11 – 8 – 1959 nomor. 69/Kr/1959.
4. Tindak pidana ekonomi
Dinyatakan kwitansi tidak bisa disamakan dengan faktur. Kwitansi membuktikan
pembayaran sejumlah uang, sedangkan faktur membuktikan pengiriman barang.
Putusan Mahkamah Agung RI, tanggal 13 – 11- 1962, Nomor. 47/K/Kr/1962.
5. Surat Palsu
Yang dimaksudkan dengan “ menyuruh membuat palsu” dalam pasal 263 KUHP, ialah
menyuruh membuat surat yang isinya bertentangan dengan kebenaran.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 28 -4-1964, Nomor. 134/1963.